Patah Hati

223 10 0
                                    

Entah kenapa setiap kali aku mengingat hal ini, aku merasa kecewa kepada Anca. Ya satu hal tapi pasti aku sakit hati.

"Bu hari ini aku nggak ikut les ya." Aku merayu ibu. "Nggak bisa, kamu harus les." Ibu memarahiku. "Hari ini saja, aku lelah." Rengekku. "Sudah lah, les saja hanya satu jam dan kamu hanya duduk mendengarkan dan memahaminya saja." Rayuanku tak mempan.

"Yaudah deh." Dengan wajah cemberut aku pergi ketempat les. Sesampainya ditempat les kulihat ziah dan lainnya sibuk dengan handphone masing-masing.

"Miss Lina belum dateng?" tanya ku. "Belum." Jawab Dila. "Eh Ring kamu udah tau belom?" Ziah menyenggolku.

"Apaan?" aku melihat ziah datar. "Anca udah jadian sama Dhea." Mendengar perkataan Ziah semua teman-temanku mengalihkan pandangannya ke Ziah.

"Oh." Jawabku pura-pura tak perduli, ya walaupun sebenarnya hatiku hancur, sakit, patah, kecewa.

"Eh tapi bukannya Anca pacaran sama Wati." Ucap Dila. "Udah lama putus kali." Jawabku. "Kok kamu tau sih Ring?" tanya Dila. "Ya iyalah Airing kan teman dekatnya Anca." Sahut Ziah yang membuat moodku turun drastis.

"Assalamualaikum." Ucap Miss Lina. "Waalaikumsalam." Jawab kami serentak, setelah Miss Lina datang kami langsung memulai les.

Ditengah-tengah Miss Lina menjelaskan handphone ku berbunyi. "Ring Handphonemu bunyi tuh." Ucap Ziah. "Miss, permisi ke depan." Ucapku sopan. "Yaudah jangan lama-lama." Jawab mis Lina

Aku lihat yang menelponku ternyata adalah Anca. "Assalammualaikum." Ucapnya disebrang sana. "Waalaikumsalam, ada apa?" tanyaku. "Malam ini kita kerja kelompok dirumah Tias, kamu ikut nggak?" ucapnya.

"Belum tau, soalnya aku belum bilang sama ibu aku." Sebenarnya aku tidak ingin pergi karena hari itu aku benar-benar lelah.

"Hmm, apa aku bolah menjemputmu?" tanyanya. "Hah? Tidak usah biar aku pergi dengan Divi saja." Aku berusaha menetralkan diriku.

"Oh, oke aku tunggu kamu dirumah Tias." Ucapnya. "Iya." Jawabku. "Assalammualaikum." Ucapnya disebrang sana. "Waalaikumsalam." Aku segera menutup telpon itu.

Aku kembali melanjutkan les ku, tak lama tiba waktunya untuk pulang. Sesampainya dirumah, aku meminta izin kepada mama untuk kerja kelompok.

"Perasaan setiap minggu kamu selalu minta izin kerja kelompok, Ibu jadi curiga. Kamu sebenarnya kerja kelompok atau." Ibu menatapku sinis.

"Apa sih bu, su'udzan aja terus sama anaknya." Aku memutar bola mataku malas. "Iya, iya tapi inget." Ibuku menampar pipiku pelan. "Pulangnya jangan kemaleman, udah tau." Ucapku datar.

"Udah berangkat sana." Ucap Ibuku. "Yee ibu, ngusir nih ceritanya." Aku mencium punggung tangan ibuku. "Assalamualaikum." Ucapku. "Waalaikumsalam, hati-hati."

Divi hanya bisa tertawa melihat kelakuan ibuku, bukan ibuku jika nggak cerewet.

"Ring." Panggil Divi. "Ya kenapa?" tanyaku. "Kalau nggak penting ntar aja deh Vi, soalnya kita lagi dijalan nih." Lanjut ku.

"Nggak jadi deh." Divi membatalkan niatnya untuk berbicara padaku. "Ya Allah Divi, untung temen kalau kagak, huh." Aku harus ekstra sabar menghadapi Divi.

Sesampainya dirumah Tias, kami langsung disuguhkan dengan bakso yang masih panas. "Langsung saja." Ucap Tias. "Makasih Tias, makin cantik deh." Rayu Alvin. "Ehem." Godaku.

"Apaan sih Ring." Tias menatapku sinis. "Enggak bawa pacar baru nih." Alvin menggoda Anca, dan itu membuat hatiku tak karuan.

"Ya enggak lah, entar yang jones malah cemburu." Anca menyenggolku. "Situ ngejek saya." Aku menatap Anca sinis.

Dear Allah, why should him?Where stories live. Discover now