Kemarahan Anca

263 9 0
                                    

"Dek kamu nggak apa-apa? Kalau masih pusing nggak usah sekolah dulu." Ucap kakak perempuanku. Setelah kejadian kemarin, yang aku ingat hanyalah rasa sakit di kepalaku.

"Aku udah nggak pusing kok kak. Lagian hari ini ada kuis, rugi kalau aku nggak masuk." Ucap ku penuh semangat. Yah, walaupun sebenarnya masih terasa sedikit pusing.

"Oh ya kak. Kemarin yang nganterin aku kerumah siapa? Anca bukan?" keluargaku sudah kenal dengan Anca, mereka tau bahwa kami berteman baik.

"Bukan. Kalau kakak nggak salah sih namanya Fajar." Ucap kakakku. "Lah kalau Fajar yang anterin terus Anca?" perasaan ku sudah tidak enak, aku benar-benar khawatir dengannya.

Tring tring tring

Hp ku bergetar, ternyata Alvin yang menelepon. "Airin. Kamu tau nggak Anca dimana, dari kemarin dia nggak pulang-pulang." Dugaan ku benar, ini semua pasti kerjaan si Fajar.

Sesampainya disekolah Idlia menatapku dengan penuh kebencian. Aku harus menjelaskan apa yang sudah terjadi.

"Hey kamu kenapa sih?" tanyaku. "Jangan pura-pura baik sama aku, seharusnya aku nggak pernah percaya sama kamu. Tega banget kamu Rin." Idlia enggan menatapku.

"Hai sayang." Fajar terlihat sumringah. "Sayang?" tanyaku penuh keheranan. "Ya iyalah. Jangan bilang kamu lupa kalau kita udah jadian." Ia terkekeh.

"Semua udah kebukti kan Rin. Dasar perempuan munafik, awalnya kamu bilang kamu nggak bakal pacaran. Tapi apa? Gebetan temen sendiri diambil." Idlia pergi tanpa mau mendengarkan penjelasanku.

"Cukup. Kita nggak pernah pacaran, sekalipun aku bilang iya itu semua karena terpaksa. Bagi kamu kita pacaran oke, sekarang kita putus." Emosiku sudah meledak.

"Oh putus ya. Oke, kamu nggak bakalan bisa ketemu Anca lagi." Ancamnya. "Dimana Anca?" benar-benar emosiku diuji.

"Kamu nggak bakal bisa ketemu Anca karena dia ada ditempat yang bisa membuat dirinya menderita. Yaa, kalau kamu mau dia selamat. Mudah kok, kita nggak usah putus. Yaudah aku pergi dulu. SAYANG." Lagi-lagi dia membuatku bungkam seribu bahasa. Kehilangan akal. Mati rasa, seakan-akan nyawaku pergi melayang meninggalkan tubuhku. Yang mana yang harus aku selamatkan?

Jika aku memilih Anca, bagaimana dengan Idlia? Tapi jika aku memilih Idlia bagaimana dengan Anca? Ya Allah kenapa begitu sulit.

Sedetik kemudian tubuhku jatuh ketanah. Kakiku begitu lemah untuk berdiri, pikiranku kacau tak karuan.

"Rin." Sitha membantu ku untuk berdiri. "Aku udah jahat sama Idlia. Aku udah jahat sama Anca, ini semua gara-gara dia." Aku menangis terisak-isak.

"Kamu nggak jahat kok Rin. Malah kamu bijak, Idlia saja yang terlalu baper." Alya menenangkanku.

"Aku mau cari Anca saja." Aku berusaha berdiri tapi Sitha menahanku. "Kalau kamu mau pergi kita harus pergi bersama." Ucapnya tegas.

"Tapi bagaimana dengan Idlia?" tanyaku. "Dia juga akan ikut. Jika dia tidak mau akan aku paksa." Ucap Sitha.

"Tapi masalahnya dimana kita akan mencari Anca? Dan Fajar pasti akan mengetahui rencana kita, karena kita tidak masuk." Benar apa yang dikatakan Iis, kami saja tidak kepikiran.

'Tempat dimana dia bisa menderita? Ya Allah dimana tempat itu... Anca pernah bilang kalau dia paling takut dengan rumah yang ada dimasa lalunya. Tunggu, jangan-jangan. Iya, disana tempatnya.'

"Aku tau Anca dimana. Dia ada dirumah kosong didekat hutan, yah disana." Ucapku penuh dengan keyakinan.

"Apa kamu yakin Anca berada disana?" Ucap Alya sembari menunjuk rumah kosong yang ada dihutan.

"Iya. Karena dia pernah bilang, dia paling takut dengan masa lalunya." Sekali lagi aku berusaha meyakinkan mereka.

"ya sudah ayo kita masuk." Sitha berjalan paling depan. Sesampainya disana, ternyata benar kulihat Anca sedang terbaring lemah dengan wajah yang penuh dengan luka.

"Hebat juga kalian bisa tau tempat ini." tiba-tiba Fajar muncul seperti hantu. Kami semua terdiam membisu, takut-takut apa yang kami lakukan akan menimbulkan situasi yang berbahaya.

"Liat siapa yang datang." Fajar menjambak rambut Anca. "Pacar gua datang, tapi sayangnya bukan untuk ketemu sama gua." Dia membenturkan kepala Anca ke lantai dengan keras, aku menangis terisak-isak.

"Aku mohon jangan sakitin Anca." Aku mendekati Anca dan membantunya untuk berdiri.

"Kamu nggak pantes mohon sama manusia batu itu Rin." Ucap Anca yang setengah sadar.

"Apa kamu bilang manusia batu." Fajar menyeret Anca dan kemudian melemparnya. Emosiku sudah tidak terkontrol lagi melihat keadaan Anca yang diperlakukan layaknya boneka.

"CUKUP!!! Aku udah muak sama kamu. Segitu teganya kamu sama dia, dimana hati kamu? Sekali lagi aku ingatkan. AKU BUKAN PACAR KAMU! Cinta itu nggak bisa dipaksa, sekalipun kamu cinta sama aku." Aku memberanikan diri untuk mendekati Anca.

"Lo liatkan apa yang udah lo perbuat, karena ini gua benci sama lo." Satu pukulan keras tepat mengenai perut Anca.

"Jangan ada yang bergerak kalau kalian nggak mau Anca mati." Ancamnya. Aku melihat pisau dipunggung Fajar yang aku yakini ia sembunyikan untuk membunuh Anca.

Tanpa sepengetahuan siapapun diam-diam aku mendekati Fajar untuk merebut pisau itu. "Mendingan lo mati aja." Dengan cepat aku melindungi Anca walaupun akibatnya pisau itu menancap diperutku.

Semua kaget dengan apa yang terjadi, aku terjatuh dipelukan Anca. "Airin." Teriak Sitha dengan yang lainnya. "Anca. Kamu nggak apa-apakan?" tanyaku sembari menahan rasa sakit.

"Gua udah pernah peringatin lo, kalau sampai lo nyakitin Airin gua nggak segan-segan ngabisin lo." Anca memukul Fajar dengan pukulan bertubi-tubi seperti orang yang sedang kesetanan.

"Anca udah." Sitha berusaha melerai. "Inget urusan kita belum selesai." Anca menatap tajam Fajar.

Sedetik kemudian pandanganku berubah menjadi hitam pekat. Samar-samar aku mendengar Teriakan Idlia dan setelah itu aku tidak sadarkan diri.

#######

"Huh capek juga." Aku menghempaskan tubuhku diatas kasur kesayangan Iis. "Udah deh Rin, jangan tiduran dikasur aku." Yah, dia paling tidak suka jika benda kesayangannya digunakan oleh orang lain tanpa terkecuali.

Dia menarikku hingga terjatuh ke lantai. "Sakit tau." Rengek ku. "Siapa suruh tiduran disitu." Dia terkekeh. "Dasar pelit." Aku segera menutup pintu kamarnya sebelum dia melemparku dengan bantalnya.

Anca Putra Riansyah, yah dia adalah lelaki yang baik dan menggemaskan walaupun terkadang sering menjengkelkan. Tapi jika dia sudah marah aku jamin kalian pasti akan takut melihatnya.

Kalian tahu? Aku dengar dari Dinda bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan, yah aku harap dia bahagia. Semoga hubungannya sampai kejenjang pernikahan. Walaupun sedikit sakit untuk memberitahu kalian.


############

Lama nggak update nih... gimana?

Oh ya yg kemaren tanyain soal cerita ini terinspirasi dari kisah nyata atau nggak gini yah sebagian cerita ini ada yang nyata dan ada tambahan imajinasi gitu. nyatanya dimananya kak? ya di Anca sama Airin kok.

Jadi, jangan lupa tetep voment yahh...

Salam Sayang


Badriatul Fadilla

Dear Allah, why should him?Where stories live. Discover now