[05] EL(A)NG

45 2 0
                                    

Semua yang sedang berkumpul di Warung Bi Iyem atau lebih dikenal dengan sebutan Warpos serentak melajukan motor mereka setelah membaca sebuah pesan yang dikirimkan Elang di grup chat mereka. Pasukan dari SMA Gandapati memang benar-benar licik. Bahkan sekarang mereka menyerang perempuan yang tidak ada sangkut pautnya dalam permasalahan yang terjadi selama ini.

Serangan terus berdatangan memaksa cowok dengan keringat yang sudah membasahi tubuhnya itu untuk terus memberikan perlawanan sekuat tenaga. Hal ini juga membuat wajah Agatha perlahan memucat. Ia juga masih tetap berdiri di belakang Elang sesuai dengan permintaan cowok itu meskipun kakinya mendadak lemas.

Terlihat seseorang berlari mendekati Agatha dari arah belakang dengan membawa sebuah balok di tangan kanannya. Perempuan yang berdiri di belakang Elang itu mulai menyadari jika dirinya yang dijadikan target. Tubuhnya seolah menolak untuk menghindari pukulan balok itu. Mata Agatha terpejam. Badannya semakin gemetar dan dingin.

Bugh!

“BANGSAT!” umpat Elang yang setelah itu berbalik melayangkan satu tendangan yang berhasil membuat orang itu tersungkur.

Ia tetap bergerak cepat meski punggungnya terluka karena pukulan balok itu. Ya, Elang baru saja menolong Agatha dari pukulan balok itu. Tak lama terdengar dari kejauhan deru motor yang saling bersahutan, menandakan teman-temannya yang mulai berdatangan, Elang yakin itu.

Sudah kesekian kalinya para siswa dari SMA Gandapati menyerang teman-teman sekolahnya. Beberapa dari anak REKSA sibuk untuk menolong Elang dan hendak membawanya ke rumah sakit namun cowok itu menolak. Elang juga merasa masih kuat untuk membalas pukulan balok tadi, namun sangat tidak memungkinkan untuk melakukannya karena Agatha masih ada di tempat ini.

“Ikut gue,” perintah Elang yang langsung berjalan dengan sedikit cepat. Perempuan itu tak ingin membuka suara apa-apa untuk saat ini. Elang kemudian sedikit mengurangi kecepatan berjalannya agar dirinya bisa sejajar dengan Agatha; lebih mudah untuk menjangkau perempuan itu jika serangan mendadak datang.

Elang memang melakukan semua tindakannya dengan tenang. Ia juga tak mau membuat Agatha merasa semakin panik dan ketakutan. Kadar ngeselin cowok itu juga sirna seketika.

“Lo yakin masih kuat, Lang?” tanya Barnes setelah sedikit berdebat dengan sepupunya karena menolak untuk diobati di rumah sakit. Elang hanya membalasnya dengan acungan jempol.

“Bay, No, Ki, pantau Elang sama Agatha. Jangan sampe pengecut SMA Gandapati nyerang temen-temen kita lagi.” Ketiga cowok itu kompak mengangguk sebagai tanda bahwa mereka setuju dengan instruksi yang Barnes berikan.

“Enggak Nes. Mereka bertiga harus disini bantu lo, gue juga jamin Agatha sama gue bakal aman.” tolak Elang dan dengan terpaksa harus Barnes setujui karena jika mereka berdebat justru akan semakin membuat keadaan menjadi kacau.

Perih dirasakan pada punggung dan darah yang berasal dari luka baru pada wajah Elang terus mengalir. Elang tidak peduli. Yang terpenting saat ini adalah membawa Agatha menjauh dari tempat itu dengan keadaan banyak SMA Gandapati disekelilingnya.

“Pegangan,” titah Elang bersamaan dengan dinyalakannya mesin motor sportnya.

“Harus banget?” tanya Agatha yang tidak dijawab oleh Elang. Laki-laki itu justru menancap gas secara tiba-tiba yang membuat Agatha terkejut dan langsung berpegangan pada Elang. Laki-laki itu sontak sedikit mengaduh karena bagian punggungnya masih terasa nyeri.

“Ehh—yaampun, sorry. Lo nggak bilang kalau udah mau jalan,”

“Tadi gue kan udah suruh lo buat pegangan,” jawab Elang santai sedangkan Agatha hanya berdecak kesal. Sifat laki-laki ini ternyata sudah kembali seperti biasanya; ngeselin.

EL(A)NGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang