Terik matahari perlahan tergantikan dengan gelap malam yang bertabur bintang menghiasi langit indah Ibu Kota. Agatha masih sibuk untuk memilih kalung yang sekiranya memberikan kesan unik. Elang hanya berdiri di samping Agatha, membiarkan perempuan itu memilih kalung yang nantinya akan diberikan kepada Bundanya.
Bukan tanpa sebab Elang mengajak Agatha untuk memilih kado itu. Ia merasa perempuan itu memiliki selera yang bagus saat memilih suatu barang. Ya, itung-itung membantu Elang supaya tidak terlalu bingung ketika memilih kalung tersebut.
“Yang ini menurut lo gimana?” tanya Agatha sembari menunjukan salah satu kalung yang berliontin seperti setetes air.
“Bagus,” ujar Elang sekenanya. Ia kemudian merubah posisi berdirinya yang tadinya bersandar pada tiang. Tangannya bergerak masuk ke dalan saku celana abu-abunya.
“Tapi yang ini juga liontinnya unik,” ujar Agatha lagi. Ia menimang kedua kalung yang menarik perhatiannya
“Kalau gitu gue beli dua-duanya aja,” pungkas Elang sembari menganggukan kepalanya. Sontak Agatha membulatkan kedua matanya. Sebingung-bingungnya perempuan pun saat memilih suatu barang hanya akan memilih salah satunya saja. Meski dengan pertimbangan yang memakan waktu cukup lama.
“Jadi berapa—” ucap Elang terputus ketika tangan Agatha menghentikan dirinya yang akan mengajukan dua kalung ke pelayan toko itu.
“Lo serius mau beli dua-duanya?” sergah Agatha yang masih tak yakin.
“Iya. Kata lo dua-duanya bagus, yaudah gue beli dua-duanya aja.” jelas Elang dengan yakin. Agatha hanya dapat menepuk jidatnya sendiri. Segitunya kah?
“Emangnya buat siapa sih kalungnya? Cewek lo?” tanya Agatha.
“Buat Bunda gue,” jawab Elang to the point.
Agatha mengambil salah satu kalung itu. “Yang ini, Lang. Kayanya bakal pas dipake sama nyokap lo.”
Elang menautkan kedua alisnya. Ekspresinya menunjukan bahwa laki-laki itu tengah memikirkan sesuatu. “Yang ini aja, Mba. Jadi berapa?”
“Dua juta rupiah, Mas. Masnya sayang banget ya sama Bundanya? Jadi gemes liatnya.” puji pelayan itu. Elang hanya tersenyum kikuk saja. Ia memberikan sejumlah uang yang harus dibayarnya.
“Pacarnya nggak sekalian dibeliin, Mas?” tanya pelayan toko itu dengan senyuman andalannya.
“HAH?” pekik Agatha dan Elang bersamaan. Mereka menatap sinis satu sama lain.
“Saya bukan pacarnya, Mba. Males banget punya pacar ngeselin kaya dia, yang ada nanti saya marah-marah terus.” ujar Agatha dengan wajah datarnya. Pelayan itu hanya tertawa saja mendengarkan celotehan Agatha.
“Lah gue juga ogah sama lo. Jutek terus juga galak kaya nenek lampir,” jawab Elang tak mau kalah. “Makasi ya, Mba. Saya harus buru-buru, takut diamuk sama nenek lampir.” lanjut Elang sembari menahan tawanya. Ia langsung pergi meninggalkan toko itu dan tentunya juga Agatha yang sudah menatap tajam kepadanya.
Agatha kemudian pergi meninggalkan toko itu. Ia bergerak menyusul Elang yang sudah berada jauh di depannya. Semakin hari nampaknya kadar menyebalkan Elang semakin bertambah. Terbukti dengan Elang yang dengan mudah membuat Agatha kesal karena sikap yang diperbuat laki-laki itu.
“Udah gak ada yang mau dibeli lagi kan?” tanya Agatha yang berjalan di samping Elang.
Elang hanya membalasnya dengan anggukan kepalanya saja. Tak lama dering telepon yang berasal dari perempuan bersweater biru muda itu berbunyi.
“Kenapa, Bang? Lo Bisa jemput gue gak?” tanya Agatha pada seseorang ditelepon itu. Elang sedikit menoleh sembari mengernyitkan dahinya. Cepat-cepat Elang meluruskan pandangannya ke arah depan lagi dan tetap fokus berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
EL(A)NG
Teen Fiction[On Going] ELANG GHAKSA ADITAMA. Berbuat nakal di sekolah adalah salah satu cara untuk melampiaskan kekosongan hidupnya. Mendapat gelar sebagai troublemaker dan most wanted boy membuat dirinya terkenal seantero sekolah. Dipertemukan dalam serangkaia...