Episode 9

3.1K 339 7
                                    

Irena tidak mau membuka mata, ia tambah mencengkeram erat jas hitam John.

"Dimana kamarmu?" tanya John khawatir. "Irena, jawab aku! Kalau kau tidak menjawabnya, aku akan membawamu ke rumah sakit!" ancam John.

"Aku baik-baik saja." kemudian Irena membuka mata. Ia tidak mau John membawanya ke rumah sakit, jika itu terjadi, John akan tahu akan kehamilannya.

Irena mendorong John menjauh. Ia menghela napas kemudian menunduk, tidak mau menatap mata John.

"Pergilah!"

Dengan gelisah Irena tetap menunduk, ia bisa melihat sepatu hitam mengkilap milik John, sepertinya tidak ada tanda-tanda John akan pergi, jadi Irena mendongak.

"Dimana kamarmu?" tanya John lagi.

Kening John berkerut dalam, terlihat wajahnya begitu cemas menatap Irena.

"Aku akan menghubungi Mike, kalau begitu..." John memasukkan tangannya kedalam saku jasnya namun Irena buru-buru mencegah John.

"Jangan. Kumohon!" Irena tidak mau Mike datang kemari. Sejujurnya, Irena ingin memiliki waktu berdua dengan John. "Kamarku ada di sana.." tunjuk Irena ke arah belakang John.

Tubuh John sontak berputar menatap pintu kamarnya yang sedikit terbuka kemudian tanpa aba-aba menggendong Irena.

Tentu saja Irena terkejut namun ia masih memanfaatkan kesempatan ini untuk mencium aroma tubuh John. Mungkin ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menikmati kembali aroma tubuh pria yang dicintainya ini.

John membawa Irena masuk kedalam kamarnya, perlahan membaringkan Irena kemudian berdiri tegak.

"Aku akan pergi, kau terlihat tidak baik hari ini, wajah mu pucat, mungkin lain kali kita bisa berbicara..." John mengucapkannya dengan jelas, menatap sekilas pada Irena kemudian berbalik.

Irena tidak mau berpisah dengan John, maka dia bergerak cepat dan meraih tangan John.

"Jangan pergi, kumohon! Bisakah kau di sini sampai aku tidur?"

John menoleh, pria itu terdiam seakan berpikir. Sedangkan Irena, dia berdoa dalam hati, semoga John bersedia di sini sampai dia tertidur.

"Baiklah.." John meraih tangan Irena kemudian pria itu duduk di tepi tempat tidur dengan menggenggam tangan Irena. "Sekarang pejamkan matamu. Aku akan di sini sampai kau tertidur..."

Irena menahan senyum kemudian ia memejamkan mata.

----------

John menatap tangannya yang menggenggam tangan Irena. John merasakan keanehan, ia seakan didorong untuk memenuhi keinginan Irena. Seakan tubuhnya bergerak sendiri. Tangannya menggenggam erat tangan Irena, sekali lagi John merasa ini sudah pas dan sempurna.

Hati John sudah jadi milik perempuan ini, tapi John tidak mau mengakuinya. Irena pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik dari dirinya. Masa lalunya yang buruk menjadi dinding besar untuknya mendapatkan kebahagiaan, John sadar akan hal itu, dan dia tidak mau berusaha merobohkan dinding itu.

Melihat Kanit bisa hidup baik dan bahagia bersama Alex sahabatnya, dia sudah merasa senang. Cukup melihat orang yang dia sayangi bahagia, itu juga akan membuat John bahagia.

Hidupnya berat. John bisa sampai titik ini tidaklah muda. Banyak persaingan antar perusahaan dan harus memakan korban, John bahkan pernah menodai tangannya dengan darah pesaingnya.

Ia tidak mau membawa Irena kedalam kehidupan kelamnya. Dia tidak memiliki alasan apapun selain cinta. Dan Cinta akan dengan mudah di lupakan jika dia berusaha keras. Namun kali ini berbeda. Seharusnya John tidak kemari dan menanyakan tentang kejadian malam pesta pantai.

John menatap wajah Irena. Napas perempuan itu sudah teratur dan sebuah senyum terukir di wajahnya. Dia jadi teringat akan reaksi Irena saat dia bertanya tentang malam itu.

Mungkinkah ada sesuatu yang perempuan ini sembunyikan?

----------

Terbangun sendiri di kamarnya. Irena merasa dia baru saja bermimpi. Semalam John menggenggam tangannya erat dan Irena merasakan kenyamanan luar biasa. Semenjak dia hamil, Irena sulit untuk tidur.

Irena memeluk tubuhnya sendiri, dan mengambil napas, aroma tubuh John masih tersisa di tubuhnya. Air mata Irena mengalir begitu saja.

"Bagaimana caraku melupakanmu, John?" isak Irena penuh pilu. Sebelah tangannya mengusap perutnya yang mulai membuncit.

"Sampai kapan Mama akan merahasiakanmu, Sayang... Maafkan Mama, ya?"

----------

"Selamat pagi..." John melangkah masuk ruang makan kemudian duduk. Di hadapannya sudah ada banyak sekali makanan.

"Jam berapa kau pulang semalam?" tanya Kanit dengan tajam sambil meletakan piring untuk John.

"Kenapa bertanya seperti itu?" tanya John, ia mengisi piringnya sambil melirik pada Kanit yang duduk di kursinya. Tidak lama kemudian Alex menepuk bahunya dan duduk juga di kursinya.

"Aku senang kau betah disini, kakak ipar.." gurau Alex.

John tersenyum kemudian menyantap sarapannya. Suasana hening di meja makan, hanya ada suara alat makan namun tidak lama kemudian, Kanit tiba-tiba berdiri; membuat Alex dan John mendongak dari makanan mereka.

"Ada apa?" tanya Alex penasaran.

"Aku harus pergi menemui Irena. Selesaikan sarapan kalian." Setelah menjawab, Kanit langsung melangkah pergi.

John terdiam dan berpikir kenapa Kanit pergi menemui Irena?

"Kau belum juga membeli ponsel?" tanya Alex memecah pikiran John, ia menoleh menatap adik iparnya.

"Belum."

"Sudah satu bulan berlalu. Kau sering kali berkomunikasi lewat email dengan stafmu. Kurasa itu merepotkan..." jelas Alex.

John juga memikirkan itu, namun dia sengaja tidak membeli ponsel karena mungkin saja para pesaingan kini berpikir dia sudah meninggal.

"Tidak masalah. Selama komunikasi kami baik."

"Kau rencana menetap?"

"Kenapa bertanya seperti itu? Kau takut aku akan selamanya disini?"

Tiba-tiba Alex tertawa terbahak-bahak. "Tidak." Kemudian senyumnya menghilang dengan cepat. "Kau belum juga menemukan ingatanmu?"

John mengangkat bahu kemudian meminum air mineralnya. "Belum."

"Ku rasa kau harus menyelidikinya." Saran Alex.

Menyelidiki? Pernah terpikir olehnya, dan jika dia melakukan itu, dia harus kembali ke pulau Hebbrie.

"Kau harus kembali ke pulau. Tidak mungkin stafmu tidak mengetahui jadwalmu selama tiga bulan lalu..."

"Kau benar.." John membenarkan kalimat Alex. "Alex.." panggil John.

"Ya." Kening Alex berkerut menatap John. "Ada apa?"

"Haruskah aku mencari ingatan itu?" John menatap Alex. "Jika aku tidak mengingatnya, mungkin saja Tuhan ingin aku melupakan ingatan tiga bulan lalu."

"Bagaimana jika itu hal penting?" giliran Alex yang mengungkapkan pikirannya.

"Jika itu sesuatu yang penting, pastilah aku mengingatnya. Tapi—"

"Bagaimana jika itu berhubungan dengan sesuatu yang begitu berharga dalam hidupmu?" Alex bertanya. Wajahnya terlihat serius.

"Seperti?"

"Entahlah. Kau yang harus menemukan jawabannya."

----------

It's Love [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang