Ikan Tebu.6

22 0 0
                                    

Setelah nafas kami normal kembali kami pun berdiri bersamaan, dan mulai berjalan ke barat. Aku membawakan pancing Lana, karena ia sedang memikul tebu dipundaknya sebab ia yang memiliki tubuh paling besar. Tak lama kemudian, kami memelih sebuah tempat yang pas, yaitu sebuah genangan air yang dalamnya hingga 1 meter dengan air yang begitu hijau, dan pinggir genangan ada bebatuan dan daratan pasir alami sebagai tempat menaruh tebu kami. Kami berempat langsung mengambil satu persatu batang tebu, yang kemudian kami kupas kulitnya dengan celurit milik Fosi secara bergantian.Setelah tebu kami terkelupas semua kulitnya, kami pun langsung menghisap air tebu.

"Ahhhh segarrrrr" kata Lana setelah ia menghisap tebu yang ia pegang.

Aku hanya menganggukan kepala sembari mengihisap terus batang tebu yang ku pegang erat, tenggorokan ku tandus terasa dibasuh air tebu yang segar dan manis, pikiranku yang bingung karena mandor tadi sekarang mulai tenang melupakan semua kejadian kejar kejaran. Posisi matarahari 60 derajat dari posisiku, panasnya mulai lebih terasa.Kami kemudian mengambil pancing dan memasang umpan untuk menipu ikan. Hampir satu jam kami memancing ikan, hingga sabar menyelimuti hati kami. Terik panas tak henti-henti mngintimidasi ubun-ubun, gerah menguasai tubuh, kening mengerut menahan keringat, dan mulut tak berhenti-henti menghisap air tebu.Hingga 10 batang tebu itu ludes tak tersisan hanya talinya saja yang ada, hingga satu kantong plastik itu terisi ikan semua, kami sepakat untuk segera pulang karena matahari sudah berdiri gagah perkasa tepat diatas kami.Kami pun menyudahi mancing kami hari ini, kami saling pandang dengan tampang kelaparan.

"Ayo pulang, aku lapar."Resahku kepada teman-temanku.

"Sama, aku juga terngiang bau ikan asin goreng ibuku" kata Fosi mengelus-ngelus perutnya.

"Sama Fos.. Aku juga terngiang ikan asin itu hehehe.." canda Lana kepada Fosi sambil menepuk pundak Fosi dan tertawa.

"Ayooo pulang, lagian udah siang, panas, haus, lapar, ngantuk, lagian ikan yang kita dapat udah banyak, sekantong plastik malahan." ujar Aji kepada kami bertiga.

Akhinya kami pun menyudahi mancing hari ini, kami pun naik keatas melewati dinding sungai yang tinggi, dengan jalan yang sama saat kami pertama turun kala pagi.Kami pulang melewati jalan tengah persawahan, semua orang sudah pulang berteduh pada rumah mereka masing-masing, tak ada lagi kakek tua bertopi, yang ada hanyalah orang-orangan sawah yang terus berdiri tak henti-henti.Udara panas tak membiarkan kami luput dari pelukannya, hanya sesekali udara datang membering kesejuakan sementara.Keluh kesah mulai keluar dari mulut siapa saja.

"Duh panasnyaaa..." kata Aji mengeluh kepanasan dengan wajah menengadah atas, lalu kemudian ia tundukan kembali.

"Iyaa nihh panas banget..." kata ku sambil mengusap pelipisku yang sudah banjir keringat.

"Ini pasti bukan buatan Cina nih matahari panas banget soalnya." kata Lana sambil membawa sekatong plastik ikan hasil pancingan.

"Jelaslah ini matahari langsung diciptakan oleh Tuhan bukan dari Cina ."sahut Fosi kepada ucapan Lana.

Kami pun silihberganti berkeluh kesah tentang panas, tak lama kemudian kami sampai ke rumahFosi, kami langsung membagi rata hasil memancing hari ini.Setelah semuamendapat jatahnya, kami pun pulang ke rumah masing-masing.Sebelum semuanyapulang, Fosi mengingatkan untuk sore nanti kami berkumpul lagi disini.Kamisemua pun meng-iyakan.Kami pun pulang.    

Debu & Deru : Dampak Sakitnya Kelud Sampai ke desakuWhere stories live. Discover now