4

63 3 0
                                    


*Maaf update-nya lama

*Ini pun juga semakin pendek

*Feel-nya gak dapet

*Tapi bodoamat lah, hehehe...

*Jangan lupa vote dulu ya sebelum baca. Mudah banget kok caranya, tinggal klik di pojok kanan atas, beres deh :-) 


***


"Rese Lo!"

Leo baru saja akan melahap makanannya ketika ia mendapat umpatan dari Rain. Dia sempat menahan tawa, tapi tak berniat menanggapi adik semata wayangnya itu. Alih-alih, dia jusru semakin khawatir dengan Rain pasca kejadian dua tahun yang lalu. Sebuah kejadian yang hampir saja membuat Leo kehilangan adiknya, Rain.

"Udah-udah, dilanjut dulu makannya. Yang terpenting dari sekarang adalah kita harus tetep mendo'akan ayah supaya selalu diberi kesehatan," ucap bunda menengahi, tak ingin kedua anaknya ini bertengkar.

"Siap Bunda...," jawab Rain dan Leo serentak.

"Ngomong-ngomong, Alan masih sering ke rumah?" goda Leo, yang jelas ditujukan ke Rain.

"Nggak usah mulai deh lo!"

"Hahaha... kenapa sih nggak coba buka hati aja buat dia?"

"Ya kali gue pacaran sama brondong."

"Gue nggak nyuruh lo buat pacaran lho, tapi hanya membuka hati buat dia."

"Ujung-ujungnya pembahasan lo juga ke arah sana kan?"

"Lo terlalu peka deh, hahaha..."

"Bun, kak Leo tuh," adu Rain kepada bundanya. Bibirnya sudah mengerucut, bête dengan pertanyaan nggak penting Leo.

Bunda tersenyum, "Kalau bunda sih sependapat sama kak Leo, siapa tau emang beneran jodoh," jelas bunda, Rain tiba-tiba tersedak.

"Bunda sama kak Leo sama aja nih. Rain jadi nggak berselera makan deh," ujar Rain meninggalkan meja makan.

"Ciye... ngambek ciyee..."

***

Rain dan Aren baru saja memasuki gerbang sekolah, ketika seseorang dengan mobil Honda Jazz biru melaju melewati mereka berdua.

"Itu bukannya Alan?" tebak Aren, memastikan.

"Iya kali," jawab Rain, tak peduli.

"Tumben cuek sama lo. Biasanya juga iseng bunyikan klakson terus gombalin lo dulu."

"Terus apa peduli gue? Justru gue bersyukur, dia udah sadar dan nggak gangguin gue lagi. Hidup gue perlahan akan tenang," jelas Rain. Aren hanya geleng-geleng kepala.

"Eh, gue denger-denger kak Leo pulang ya?" tanya Aren antusias.

"Iya."

"Sendirian?"

"Iya. Bokap masih belum boleh cuti."

"Iiish, maksud gue, dia nggak bawa temennya yang sesama tentara gitu?" tanya Aren. Rain mengernyitkan dahi, tak mengerti arah pertanyaan sahabatnya ini.

"Emangnya kenapa?"

"Kali aja dikenalin ke lo, terus gue juga bisa kenalan deh."

"Modus lo!"

"Atau kak Leo aja ya yang gue deketin? Siapa tau kita bisa jadi saudaraan." kata Aren dengan kepala menengadah serta jari telunjuk dan ibu jarinya menempel di bawah dagu sang empunya.

"Nggak usah berkhayal deh! Gue yang ogah jadi adik ipar lo!"

"Iiish, gitu banget deh lo." Aren mendorong pelan Rain.

"Bodo!" jawab Rain singkat.

"Udah ah yuk, cepetan masuk kelas, keburu bel nih," ajak Rain sengaja mengakhiri percakapan dan pergi meninggalkan Aren duluan.

"Rain.... tunggu ..."

***

Sejak saat itu hingga hari-hari berikutnya Alan sudah tak lagi mengganggu Rain. Sekedar menyapa Rain pun juga sudah tak sempat. Dia mulai sibuk dengan ekstrakurikuler yang ia ikuti. Jika tidak ada jadwal latihan, ia selalu pulang tepat waktu, bahkan beberapa kali sering kepergok Rain terburu-buru pulang. Mereka berdua sempat saling melihat ketika Alan akan masuk ke mobil dan Rain yang saat itu melewati parkiran sekolah, tetapi tak ada satu pun sapaan tercipta, termasuk saat ini.

Rain menatap Alan dari kejauhan. Pandangan mereka saling bertemu. Alan hanya tersenyum sekilas, lalu masuk ke mobil dan meninggalkan parkiran sekolah. Rain yang melihat perubahan sikap Alan pun terasa miris, seperti ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Entah apa yang ia pikirkan. Meski enggan untuk mengakui, tetapi dari lubuk hati yang terdalam, Rain mulai merindukan Alan.

"Apaan sih nih gue, masa iya gue ngerasa kehilangan dia? Bukannya dari dulu gue yang selalu minta dia buat ngejauhin gue? Kok sekarang giliran dia udah menjauh, gue ngerasa kesepian ya? Duh, Lan, lo kenapa sih tiba-tiba menjauh? Kalau lo beneran suka gue, sesibuk apapun lo harusnya masih bisa nyapa gue kan? Gue kangen lo," batin Rain. Nama Alan terus berkecamuk dalam pikirannya.

"Hai," sapa Aren.

"Sori lama," lanjutnya.

"Iya, nggak apa kok. Yuk pulang," ajak Rain.

"Lo kenapa, Rain?" tanya Aren sambil berjalan.

"Kenapa gimana?"

"Kayak lagi galau gitu."

"Sok tau lo!"

"Gue udah kenal lo hampir enam tahun, Rain. Jadi gue udah hafal betul gimana lo kalau lagi galau. Cerita deh kenapa?"

"Kenapa sih? Orang gue nggak apa kok."

"Alan ya?" tanya Aren yang langsung mendadak menghentikan langkahnya dan menghadap Rain.

Kedua tangan Rain menangkup wajah Aren, "Aren sayang, gue nggak apa kok. Jadi nggak usah khawatir dan nggak usah sok tau ya!" jelas Rain. Aren mengganggukkan kepalanya.

"Bagus! Yuk, pulang."

***

Tatapan itu seperti mendorong Alan untuk menghampirinya. Ingin sekali rasanya ia menyapa dan mengajaknya pulang bersama. Namun waktunya masih belum pas. Dia harus buru-buru ke suatu tempat, ada prioritas lain yang nggak bisa Alan tinggalkan untuk saat ini. Di samping itu, Alan tidak bermaksud menyakiti hati Rain, tapi lebih tepatnya ia ingin memberikan ruang untuk Rain yang pernah memintanya untuk tak lagi mengganggu kakak kelasnya itu.

Alan tersenyum, "Gue janji bakal tetep ada buat lo meskipun lo sendiri nggak pernah minta itu. Maaf, saat ini gue nggak bisa ngajak lo pulang bareng," batinnya yang lalu menaiki mobil.

***

RainbowWhere stories live. Discover now