Alan baru saja keluar dari perpustakaan, mengejar Rain yang lebih dulu pergi meninggalkannya. Ia sedikit berjalan cepat untuk mensejajari langkah Rain. Masih dengan rasa percaya dirinya, ia sempat berbasa-basi sedikit dengan Rain. Namun, yang didapat tak berbeda jauh dari biasanya. Ya, sebuah bentakan Rain yang tak pernah mengacuhkan seorang Alan.
"Lo bisa nggak sih nggak ganggu gue sehari aja? Gue udah berulang kali, kan, bilang ke lo, gue benci sama lo, jadi jangan pernah munculin muka lo di hadapan gue lagi, ngerti??!!!"
Ucapan Rain barusan membuat suasana di sekitar mereka hening, termasuk Alan yang tiba-tiba bungkam dan tetap mematung di tempat sepeninggal Rain dari hadapannya. Matanya melebar, jantungnya cukup berdebar-debar, bisa dibilang ia shock. Namun, sedetik kemudian bibirnya mengembang, ia tersenyum getir. Ditatapnya kakak kelasnya itu yang berjalan semakin menjauh. Semakin Rain membencinya, semakin penasaran pula Alan terhadap sosok Rain.
"Ada yang potek nih hatinya. Sabar ya, Bro!" sahut Nando yang sudah berada di dekat Alan, menepuk-nepuk pundaknya.
"Gue nggak tau harus ngingetin lo gimana lagi buat move on dari kak Rain," timpal Malvin dengan melipat kedua tangannya di depan dada.
"Lo itu udah buta tau nggak? Jangan sampai lo jadi bucin, alias budak cinta, Lan!" tambah Malvin.
"Lihat tuh cewek-cewek di sekitar sini, banyak yang ngantri buat jadi cewek lo, terutama dia, Sandra, ketua tim cheerleaders yang terang-terangan suka sama lo, tapi minder sama Kak Rain yang notabenenya kakak kelas kita," kata Malvin seraya menunjuk ke lapangan basket dimana tim cheerleaders sekarang berlatih, Alan mengikuti arah tangan Malvin.
"Nggak cuma dia. Lihat juga tuh, Via, bakal calon ketua OSIS yang diam-diam suka sama lo." Kini giliran Via yang menjadi pusat perhatian Alan cs. Via yang duduk di depan kelasnya, tak jauh dari tempat dimana mereka bertiga berdiri pun menjadi salah tingkah karena merasa diperbincangkan.
Alan tersenyum, tangannya meraih kedua sahabatnya itu untuk dirangkulnya. "Lo berdua pernah jatuh cinta, kan? Cinta itu buta, nggak pandang siapapun dia. Yang pasti sekarang, gue sedang berjuang untuk ngedapetin hatinya Kak Rain," ucapnya.
"Cabut yuk," lanjut Alan yang masih tetap merangkul Malvin dan Nando.
***
Tahun ajaran baru sudah berlangsung selama seminggu, dan selama itu pula tak ada kejadian yang menonjol atau berbeda yang dialami Rain, termasuk sosok Alan yang masih bersikeras mendekatinya.
Rintik-rintik gerimis kembali mengguyur kota dimana Rain tinggal. Beruntung ia masih bisa menikmati dinginnya yang begitu disukai. Kerikil kecil di jalanan seakan menemaninya untuk menikmati butiran-butiran bening kristal ini yang lagi-lagi turun di sore hari, ketika ia selesai menuntut ilmu di sekolah.
"TIIIN...TIIIN..."
Suara klakson mobil terdengar dari belakangnya. Rain tak menggubrisnya dan masih berjalan santai menerobos hujan yang semakin lama kian deras. Tapi mobil tersebut masih terus mengikuti Rain hingga mensejajari langkahnya.
"Kak Rain... kenapa hujan-hujanan?" tanya si pengendara dengan suara yang dipaksakan keras untuk mengalahkan suara derasnya hujan. Rain mengenali suara itu, suara yang selalu terdengar dan hampir setiap hari mengganggunya di sekolah maupun di rumah.
Tak ada niatan untuk Rain menanggapi pertanyaannya. Sudah cukup bosan dengan kehadirannya setiap hari di sekolah yang selalu mengikutinya. Tapi tetap dengan usahanya, ia turun dari mobil dengan membawa payung birunya dan mensejajari langkah Rain.

YOU ARE READING
Rainbow
Novela JuvenilHujan nggak selamanya buruk, karena hujan masih identik dengan kata romantis. Di setiap rinainya yang jatuh, pasti akan selalu ada cerita yang menemaninya. Berharap suatu saat, mendung yang dianggap keburukan dan mentari yang dianggap kebaikan dapa...