Malam ini rintikan hujan kembali menyapa. Membawa setumpuk kenangan yang pernah Rain rasakan ketika bersama seseorang dulu. Seseorang yang pernah mengisi relung hatinya selama beberapa bulan sebelum akhirnya ia dicampakkan. Bahkan udara dingin yang semakin mencekam ini pun membuat Rain mengingat sesuatu yang tak seharusnya diingat, sebab akan membuka kembali luka lama yang hampir terobati setelah ia bersusah payah untuk melupakannya. Rain tidak membenci hujan, hanya saja ia ingin mencoba tetap berdamai dengan keadaan yang ada.
Rain duduk di lantai, dengan ranjang sebagai sandarannya sembari memangku sebuah gitar. Ia menatap tetes demi tetes hujan yang membasahi jendela kamarya. Mendorong jari-jari Rain untuk menari di atas gitar kesayangannya yang sedari tadi hanya ia pegang. Menciptakan nada-nada pilu untuk sebuah lagu yang menggambarkan isi hatinya sekarang. Dengan lirih, ia bernyanyi dengan iringan petikan gitarnya.
I heard, that you're settled down
That you found a girl and you're, married nowI heard, that your dreams came true
I guess she gave you things
I didn't give to youOld friend, why are you so shy
Ain't like you to hold back
Or hide from the lightI hate to turn up out of the blue uninvited but I
Couldn't stay away I couldn't fight it
I had hoped you'd see my face
And that you be reminded that for me it isn't overNever mind I'll find someone like you
I wish nothing but the best
For you too, don't forget me
I beg, I'll remember you said
Sometimes it lasts in love
But sometimes it hurts instead
Sometimes it lasts in love
But sometimes it hurts instead yeah(Someone Like You – Adele)
***
Samar-samar, Rain mendengar seseorang berteriak. Suara wanita paruh baya yang memanggil-manggil namanya. Ia mencoba diam dan mempertajam pendengarannya.
"Rain..." Tepat saja, itu adalah suara bunda Rain.
"Rain, ada temanmu datang," teriak bunda Rain dari lantai bawah, tepatnya ruang tamu.
"Iya, Bun, sebentar," jawabnya yang langsung menghentikan aktivitas bernyanyi dan meletakkan gitar di atas ranjangnya. Ia sempat bertanya-tanya siapa temannya yang nekat malam-malam dan hujan deras begini datang ke rumahnya. Jika Aren, sahabatnya yang datang, pasti ia akan mengabarinya dahulu.
"Siapa, Bun?" tanyanya sesampainya di ruang tamu yang langsung disambut oleh seseorang yang sangat tidak ia harapkan kehadirannya.
"Hai, Kak Rain," sapanya.
"Ngapain lo ke sini?" tanyanya ketus.
"Rain, nggak boleh gitu, ah!" ucap bunda.
"Yaudah, kamu ajak ngobrol teman kamu. Bunda ambilkan minum sama camilan dulu ya," kata bunda beranjak dari kursi.
"Nggak usah, Bun. Dia cuma sebentar kok, iya kan?" tanya Rain pada tamunya dengan tatapan tajam seakan ingin memangsanya jika dia nggak menuruti kata Rain.
"Nggak kok, siapa bilang," jawabnya santai. Tangan Rain mengepal, ia mulai geram, nggak sabar ingin mencekik leher tamu tak diundang itu.
"Rain...," ucap bunda lirih saat melihat ekspresi wajah dan posisi tangan anak bungsunya itu. Ya, Rain Tristananda merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Dia memiliki seorang kakak laki-laki, Leo Ardhito namanya.
"Iya, Bun, maaf..." ucap Rain, mengerti maksud perkataan bundanya.
Beberapa detik setelah bunda tak terlihat dari balik kelambu ruang tamu, Rain memulai eksekusi dengan mangsa di hadapannya itu.
"To the point aja. Ngapain lo ke sini?" tanya Rain yang lagi-lagi ketus.
"Sebentar lagi kan tahun ajaran baru, aku boleh pinjam buku-buku Kakak kelas 11 nggak?" jawab Alan nyengir – seorang tamu tak diundang yang dimaksud Rain tadi.
"Tunggu sini."
Selang beberapa menit kemudian Rain kembali ke ruang tamu dengan beberapa tumpukan buku kelas 11. Semua ia letakkan kasar di atas meja.
"Udah kan? Yaudah bawa, terus pulang sana!" usirnya.
"Ngusir nih?" tanya Alan tanpa perasaan berdosa sekali pun. Nih anak nggak peka banget sih.
"Iya. Udah, cepet-cepet sana!" kata Rain dengan mendorong-dorong tubuh Alan menuju pintu.
"Kak, aku boleh tanya satu pertanyaan nggak?" tanya Alan, menghentikan langkahnya dan berusaha menahan tumpuan kakinya agar tidak terjatuh karena didorong-dorong Rain.
"Apa? Cepetan!"
"Kenapa sih, kok Kakak kayaknya benci banget sama aku?" tanyanya. Rain melengos. Ia benci jika harus mengingat kembali kejadian konyol itu.
"Lo lupa sama kejadian satu tahun yang lalu? Atau lo pura-pura lupa seolah-olah nggak pernah ngelakuin hal nggak sopan itu?"
"Maaf deh, Kak. Kan aku udah sering banget minta maaf ke Kakak. Lagi pula itu juga bukan kemauanku, tapi perintah dari panitia," jelas Alan membela diri.
"Tapi lo bisa kan minta hukuman lainnya?"
"Nggak bisa, Kak, udah perintah soalnya," jawab Alan tersenyum sembari mengerlingkan matanya menatap Rain. Bermaksud menggodanya. Rain yang melihat itu merasa risih. Ia bergidik ngeri dan langsung kembali mendorong paksa Alan keluar dari rumahnya.
Sesampainya di ambang pintu, Alan kembali menatap Rain. Ia memasang senyum manis yang biasanya membuat kaum hawa berteriak histeris, tak terkecuali Aren, sahabat Rain sendiri.
"Apa?" bentak Rain.
"Kakak lucu deh kalau salting gitu."
"Ss..ssiapa yang salting? Nggak usah ke GR an deh lo!" kata Rain sempat terbata.
Udah, ah, pergi sana!" usir Rain lagi.
"Hujannya masih deras. Nggak disuruh masuk dulu nih sambil nunggu hujannya reda? Tadi bunda juga bilangnya masih mau ambil camilan."
"Nggak usah ngarep deh lo! Cepetan pulang sana, atau lo mau gue cekik?"
"Galak amat sih bidadari satu ini," ucap Alan, bermaksud menggombal.
Rain yang semakin geram pun mulai mematah-matahkan jemari dan lehernya, bersiap untuk mencekik seseorang yang ada di hadapannya itu. Alan yang menyadarinya pun mundur selangkah, lalu berniat pamit sebelum nyawanya melayang.
"Iya, iya, aku pulang. Makasih ya, Kak, buku-bukunya. Salam juga ke bunda, maaf, karena nggak sempat nyobain camilannya," pamit Alan yang langsung ngibrit menerobos lebatnya hujan menuju mobil jazz biru miliknya yang terparkir tak jauh dari pintu rumah Rain.
***
Rain menutup pintu rumahnya. Ia bernapas lega telah terbebas dari makhluk abstrak itu.
"Lhoh, Rain, kemana teman kamu?" tanya bunda yang sudah membawa nampan berisi sepiring camilan dan dua gelas sirup.
"Udah pulang, Bun. Katanya buru-buru habis ditelepon orangtuanya."
"Oh, yaudah kalau gitu."
***

YOU ARE READING
Rainbow
Fiksi RemajaHujan nggak selamanya buruk, karena hujan masih identik dengan kata romantis. Di setiap rinainya yang jatuh, pasti akan selalu ada cerita yang menemaninya. Berharap suatu saat, mendung yang dianggap keburukan dan mentari yang dianggap kebaikan dapa...