*Sedang tergugah untuk melanjutkan "Rainbow" meski nggak terlalu dapat feel-nya
*Btw, jangan lupa kasih vote ya...
*Happy reading :-)
***
Rumah sakit dan apotek sudah merupakan tempat yang tak asing lagi bagi seorang Via. Ia sudah lebih dari 15 tahun harus bolak-balik rumah sakit untuk menjalani terapi. Sebenarnya ada jalan lain untuk menyembuhkan penyakit Thalasemia yang diderita Via, yaitu transplantasi sumsum tulang belakang yang biayanya tak sedikit dan harus benar-benar menemukan sumsung tulang orang normal yang cocok.
Jika ia boleh memilih, lebih baik ia menyusul ayahnya yang lebih dulu meninggalkannya. Ia tak mau merepotkan banyak orang terutama mamanya yang juga harus menanggung beban penyakitnya ini. Namun, sejak ia bertemu dengan Alan, ada rasa yang membangkitkan semangatnya untuk tetap hidup dan sembuh dari penyakit yang dideritanya ini, meski kemungkinannya sangat kecil.
Via menengok ke kanan, tepatnya ke seseorang yang sedang duduk di balik kemudi mobil. Ada perasaan senang ketika ia bisa lebih dekat dengan Alan, namun di sisi lain, ia merasa bersalah dan tak enak hati karena harus menarik Alan untuk masuk ke dalam kehidupannya yang menyusahkan ini.
"Lan, maaf ya kalau gue sering ngerepotin lo," ucap Via.
"Gue nggak masalah kok, tapi bukan berarti gue mau nerima perjodohan kita," jelas Alan.
"Iya, gue paham kok. Sekali lagi maaf...," ucap Via. Alan tak menjawab, ia terlalu fokus menyetir.
***
Pagi ini Rain diantar oleh Leo ke sekolahnya. Entah mengapa Rain yang memintanya sendiri untuk diantar oleh kakak satu-satunya ini.
"Makasih, Kak. Jangan lupa entar pulang dijemput ya, janji?" kata Rain dari balik kaca mobil.
"Siap, janji... Belajar yang rajin, lo udah kelas 12!"
"Siap... Hati-hati, Kak," ucap Rain yang disusul dengan laju mobil Leo.
Mulai hari ini Rain harus sudah terbiasa dengan ketidakhadiran seorang Alan. Ini yang diinginkan Rain, dan harusnya ia senang. Namun untuk beberapa menit, tanpa sadar ia sudah berada di parkiran mobil sekolah. Mengamati satu per satu kendaraan yang terparkir di sana.
"Alannya nggak masuk, Kak. Tadi dia WhatsApp gue kalau izin nggak masuk," ucap seseorang yang membuat Rain tersentak kaget.
"Ha? Lo ngomong sama gue?"
"Menurut Kak Rain, memang di sini ada siapa lagi selain kita?"
Rain hanya nyengir kuda sembari menggaruk belakang kepalanya yang nggak gatal. Ia tak tahu mengapa sampai bersikap demikian di hadapan salah satu sahabat Alan. Rain merasa sudah tertangkap basah olehnya.
"Yaudah, gue duluan ya, Kak," pamit Malvin. Rain hanya menimpalinya dengan sekali anggukan.
Sepeninggal Malvin, Rain masih bertanya-tanya, kenapa Alan izin nggak masuk? Apakah terjadi sesuatu dengannya? Apa ia sakit? Lalu ia mengambil benda pipih yang ada di saku tasnya. Mencari-cari kontak nama Alan dan berniat untuk menghubunginya. Namun ia menghentikan jemarinya ketika akan menekan tombol hijau, menimang-nimang apakah benar yang akan ia lakukan ini?
"Aaaaahhh... Rain... Lo kenapa sih peduli sama makhluk abstrak itu? Nggak penting banget deh," ucapnya kesal tapi lirih yang langsung memasukkan kembali ponselnya ke tas.

YOU ARE READING
Rainbow
Teen FictionHujan nggak selamanya buruk, karena hujan masih identik dengan kata romantis. Di setiap rinainya yang jatuh, pasti akan selalu ada cerita yang menemaninya. Berharap suatu saat, mendung yang dianggap keburukan dan mentari yang dianggap kebaikan dapa...