Hari ini kondisi Rain sudah cukup sehat. Ia nekat untuk tetap berangkat sekolah, meski Mira telah melarangnya. Namun, Rain tetap bersikukuh bahwa dirinya sudah tidak kenapa-kenapa, sudah kuat untuk beraktivitas seperti biasanya.
Aren yang telah lama menjadi sahabat Rain pun turut andil dalam menjaganya. Ia paham betul kenapa Mira sampai sebegitu khawatirnya terhadap anak bungsunya itu.
"Lo beneran udah nggak apa kan, Rain?" tanya Aren. Seperti biasa, mereka berangkat sekolah bersama. Berjalan kaki menju sekolah setelah turun dari angkutan umum di ujung jalan sekolah ini.
"Lo nggak usah lebay kayak bunda deh, Ren. Gue seriusan nggak apa."
"Gue khawatir tau kalau sampai Lo kenapa-kenapa."
"Lebay Lo!" jawab Rain singkat. Aren melengos.
Untuk beberapa menit, tak ada percakapan lagi diantara Rain dan Aren. Hingga Aren menyadari, bahwa di depan sana, tepatnya di gerbang sekolah, sudah ada Alan yang menunggunya. Oh bukan, menunggu Rain maksudnya. Dari situ, ada niat iseng untuk menjahili Rain. Ia pun menyikut-nyikut lengan Rain.
"Apa sih, Ren?" tanya Rain. Aren hanya memaju-majukan dagunya ke arah depan. Rain yang penasaran pun, akhirnya mengikuti arah dagu Aren.
"Dia lagi," batin Rain.
"Selamat pagi, Bidadari," sapa Alan dari dalam mobil.
"Selamat pagi juga, Pangeran," jawab Aren sekenanya. Rain yang ada di sebelahnya pun hanya menatap Aren dan Alan sinis.
"Baru sampai sekolah juga?" tanya Alan.
"Baru aja mau pulang," jawab Rain sinis yang dilanjut dengan langkah seribu kakinya meninggalkan Alan dan Aren.
"Kebiasaan deh Rain, suka ninggalin gue," desis Aren.
"Rain... tunggu....," teriak Aren, mengejar Rain. Alan yang melihatnya pun hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum lucu.
"Sabar, Lan. Bentar lagi Lo pasti dapetin kak Rain kok," kata Alan dalam hati. Menyemangati diri sendiri.
***
Baru saja Alan memarkirkan mobilnya, ia tengah dikagetkan oleh seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik mobilnya.
"Astaga, Via! Lo ngapain di sini?" tanya Alan lirih, yang langsung menariknya ke sudut parkiran.
"Sorry, nyokap minta kita foto berdua. Mastiin kalau kita udah sampai sekolah."
"Duh, ada-ada aja deh nyokap lo."
"Gimana? Kalau nggak mau juga nggak apa sih, gue ngerti kok."
Alan menengok ke samping kanan-kiri, depan-belakang, "Iyaudah deh, cepetan."
CEKREK!!!
Satu foto cukup. Alan pun langsung membuat jarak. Ia sebenarnya nggak tega melakukan ini, dan bukan maksud Alan tak mau berteman dengannya. Tapi ia benar-benar harus menjaga perasaan seseorang yang sedang ia kejar kalau mau pujaan hatinya cepat luluh.
"Udah ya, gue ke kelas dulu," pamit Alan.
"Iya."
Tanpa mereka berdua sadari, ada seseorang yang mengintip dari balik pohon tak jauh dari tempat mereka ber-selfie. Shock! Satu kata yang cocok untuk dirinya saat ini. Siapa yang tahu, kalau pujaan hatinya sedang dekat dengan sahabatnya sendiri. Tapi dia tak mau langsung ambil keputusan. Harus ada beberapa bukti untuk meyakinkannya, bahwa mereka berdua memang ada hubungan.
YOU ARE READING
Rainbow
Teen FictionHujan nggak selamanya buruk, karena hujan masih identik dengan kata romantis. Di setiap rinainya yang jatuh, pasti akan selalu ada cerita yang menemaninya. Berharap suatu saat, mendung yang dianggap keburukan dan mentari yang dianggap kebaikan dapa...