Memory Nine: Harusnya... (Hidan & Hana)

16 1 2
                                    

Hana adalah perempuan periang dan juga pintar. Melihat senyumnya membuat seseorang ikut bahagia. Ditambah dengan parasnya yang cantik dengan rambut sebahu, Banyak yang tertarik untuk mengenal Hana.

Setidaknya, itulah pendapatku tentangnya.

Jam menunjukkan pukul setengah delapan malam saat aku baru pulang dari studio musik. Ku buka handphone-ku untuk melihat beberapa notifikasi yang masuk. Beberapa tidak penting. Kulihat ada notifikasi chat dari Hana, 19 pesan. Semua isi pesan itu hanya memanggil namaku. Kuputuskan untuk menelpon Hana.

"Ada apa?" tanyaku saat telfon tersambung,

"Hidan! Darimana saja kau?!"

Seharusnya aku tidak menelfonnya jika tahu telingaku akan tersakiti. "Maaf, aku baru sampai di——"

"Apa kau tidak tahu temanmu ini sedang butuh orang untuk berbincang?!" Hana kembali berseru, membuat aku mengusap telingaku lagi.

Dibalik senyumnya yang cantik, dia adalah perempuan rapuh, terlebih setelah dia putus dengan pacarnya. Hana jadi lebih sering merengek, minta ditemani. Dia juga sering menelfonku malam-malam sambil menangis. Mungkin hanya aku yang mengetahui sis rapuhnya.

"Iya, aku mengerti. Aku sudah pulang. Kau bisa bercerita sepuasmu sekarang." Sepertinya sama seperti sebelumnya. Dia akan bercerita tentang mantannya yang punya pacar baru, tentang foto mantannya yang——katanya——semakin menawan.

Satu jam nonstop Hana bercerita. Sama seperti seblumnya. Sebagai lelaki, aku hanya tahu solusi.

"Entahlah, Hana. Kau selalu bercerita tentang hal itu. Apa mantanmu benar-benar tidak bis dilupakan? Unforgotten?" tanyaku menyelidik.

Sesaat, Hana terdiam. "Sepertinya begitu. Aku ingin melupakannya. Aku ingin bisa.

"Kau hanya butuh seseorang yang bisa menggantikannya."

"Kurasa begitu." Hana terdengar serak. kurasa dia sudah menangis sejak tadi.

"Sejak jam berapa kau menangis ?" Tanyaku. Hana terdiam.

"Entahlah. Mungkin sejak tiga jam yang lalu."

Wow. Itu adalah rekor Hana menangis yang baru. Dulu Hana pernah menangis selama dua jam saat menelfonku. Alhasil, aku hanya mendengarnya terisak, selama dua jam penuh.

"Berubahlah, Hana. Kau harus menjadi wanita yang kuat. Kau tidak bisa terus menangis untuk menyelesaikan masalahmu." ujarku pada Hana. Kurasa aku sedikit terlalu keras padanya. sampai-sampai dia hanya terdiam. 

Hanya lengang selama beberapa menit. "Aku butuh teman." Hana angkat suara setelah beberapa saat hanya deru nafas yang saling bersahutan. "Kemarilah, Hidan. Datanglah kerumahku."

Aku menghela nafas pelan, tersenyum tipis. Jujur saja, aku senang saat Hana menyuruhku datang kerumahnya. Jujur  saja, aku menyukai Hana. "Tunggu aku lima belas menit lagi. Jangan sampai kau tertidur."

Kami memutuskan sambungan setelah satu-dua kalimat lagi.

*****

"Dimana orang tuamu?" tanyaku pada Hana setelah aku melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Setelah menutup pintu, Hana berbalik, berjalan mendahuluiku. "Mereka sedang keluar. Aku sendirian beberapa hari terakhir dan beberapa hari kedepan."

Aku mengangguk paham. Itu menjelaskan mengapa dia sangat kesepian saat ini.

Suasana rumahnya memang sepi, hampir seperti mansion yang tidak pernah ditinggali.

"Jadi, bagaimana perasaanmu sekarang?" Tanyaku saat aku sudah duduk di sofa kamar Hana.

Isi HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang