Memory Eight: Semuanya Sederhana. (Irza & Wendi)

12 1 0
                                    

"Irza," panggil seorang perempuan dari belakang. Sepertinya dia malu-malu. Aku tahu apa yang akan terjadi, dan aku sudah bosan mengetahuinya.

"Ada apa?" Tanyaku seraya membalikkan badan. perempuan itu tertunduk. Dia memberikan sebuah kotak dengan motif doodle dan sebuah surat tersemat di atasnya. Siapa namanya? Wendi? Kulihat nama di bajunya.

Kuterima kotak itu dengan wajah datar. Wendi menggumamkan sesuatu yang tidak aku dengar, lalu berlari kecil meninggalkan aku.

*****

"Bacakan untukku," Ujarku seraya memberikan surat tadi pada temanku, Rafi. Dia membuka suratnya, lalu mulai membaca. Aku mendengarkannya sambil memakan cokelat yang ada di dala kotak itu.

"Hm... Hey, dia menuliskan namamu!"

"Jangan banyak bicara. Baca saja."

"Irza Asila. Kau blablabla, hm... Ah! ini dia," Sialan Rfi. Dia tidak membaca keseluruhan suratnya. "Aku menyukaimu, Irza. Seperti biasa. Dari siapa, kali ini?" Tanya Rafi.

Sejenak, aku terdiam, berusaha mengingat nama perempuan tadi. "Wendi," Jawabku singkat.

Mendengarnya, Rafi langsung menggebrak meja. "Astagaaa... Wendi murid IPA 1 itu? Anak baru itu?"

Aku mengangkat bahu. Aku tidak tahu siapa dia. Apa katanya? Murid baru? Pantas saja aku tidak pernah melihatnya. "Katakan padaku apa yang kau ketahui tentangnya."

"Seminggu yang lalu dia masuk sekolah ini. Sebentar saja, dia sudah sangat populer, bahkan sudah ada yang mengajaknya berpacaran, tapi ia menolaknya. Kurasa dia cukup berani mengutarakan perasaannya padamu, mengingat banyak perempuan yang kau tolak. Omong-omong. berapa mantanmu?"

"Entahlah. 13 atau 14 mungkin," Jawabku. Mendengarku, Rafi tertawa. "Hey, ayolah, aku tidak pernah menghitung berapa perempuan yang aku kenal. Lagi pula, aku juga cepat bosan."

"Terserah kau saja."

*****

Ada apa ini? Apa yang kurasakan? Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya. Aku menatap kosong kedepan, memikirkan apa yang kurasakan dihatiku ini, dan terkejut saat tiba-tiba Rafi menepuk pundakku.

"Ada apa dengan mu? Jarang-jarang kau melamun. Apa yang kau pikirkan?"

Aku mengangkat bahu. "Entahlah."

"Ah.. Aku tahu. Pasti tentang Wendi. Apa kau menyukainya?"

"Kurasa aku menyukainya. Tapi bisa saja ini hanya perasaanku saja."

Rafi hanya terkekeh. Dia beranjak dari kursinya. "Aku akan ke kantin. Kau ikut?" Aku langsung berdiri, menghampiri Rafi yang sudah berjalan mendahului.

Seperti biasa, kantin dipenuhi oleh para 'zombie' yang kelaparan. Untung kantin sekolah ini cuku luas untuk menampung sebagian murid yang datang. Kuperhatikan sekeliling, melihat kios-kios makanan. Aku datang ke sini, tapi aku tak merasa lapar. Apa yang harus kulakukan?

Sekali lagi, kusapukan pandanganku. Tanpa sengaja, kudapati seseorang sedang mengantre di salah satu kios. Ku putuskan untuk menghampirinya.

"Hey." Sapa ku. Perempuan itu seperti terkejut.

"I-irza?" Wendi sempat menatapku, lalu menundukkan lagi pandangannya.

"Em... J-jus alpukat." Jawab Wendi singkat. Dia masih terlihat sungkan menatapku. Menyadarinya, aku langsung terkekeh. "Ada apa?" Tanyanya.

Aku menggeleng, berjalan maju ke kios. Tak lama, aku kembali dengan membawa 2 gelas jus alpukat. "Ayo," Kataku pada Wendi.

"Ada apa?"

"Sudahlah. Ayo temani aku menghabiskan jus alpukat ini." Wendi berjalan di sebelahku. Koridor lengang. Banyak siswa yang memilih di dalam kelas. Aku duduk di bangku depan kelasku. "Kemari. Duduk lah." Ajakku. Wendi duduk dan menerima jus alpukat yang aku beri. "Ayolah. Aku tidak akan menggigit." Sedari tadi, Wendi hanya terdiam.

"Terima kasih." ujarnya sambil masih tertunduk.

"Hanya 'terima kasih'? Tidak ada yang lain?"

Wendi masih terdiam. Tiba_tiba seseorang datang, berdiri di depanku. Pelacur elit ini lagi, gumamku dalam hati. Kutatap dengan malas perempuan itu, lalu mendengus sebal.

"Hai, Irza!" Seperti biasa, Laudi terlihat ceria. Sudah tak terhitung berapa kali aku duduk bersamanya, mendengarkannya bicara, dan tidak peduli dengan kehadirannya.

"Oh, ternyata kau bersama bocah ingusan ini." Ujar Laudi.

"Memangnya kenapa?" Jawabku. Kutatap Laudi, tidak peduli dengan perkataannya.

Perbedaan Wendi dan Laudi memang jauh. Laudi dengan rambut hitam legamnya yang panjang dan terurai, serta matanya yang biru, membuatnya terlihat seperti ratu di sekolah ini. Terlebih, dia sangat percaya diri.

Berbeda dengan Wendi. Dia terlihat cantik dengan kacamata bundar dan rambut selehernya. Cantik karena kesederhanaan. Dan aku menyukainya.

"Seharusnya kau bersama ku. Aku mencarimu kemana-mana, kau tahu."

"Pergilah," jawabku singkat.

Sesaat, Laudi terbelalak. "Ke-kenapa?

Aku hanya mengangkat bahu, tidak peduli. Laudi menarik tangan Wendi, memaksanya berdiri. Saat tangannya setengah jalan menampar Wendi, ku cengkeram tangan Laudi, menghempaskannya kesembarang arah. Kurangkul Pundak wendi yang sedari tadi diam.

"Pergi dari pandanganku." Ujarku pada Laudi, seraya berjalan bersama Wendi, meninggalkan Laudi yang bungkam.

Dengan masih merangkul Wendi, ku ajak dia duduk di bangku taman sekolah. Suasananya tenang, jarang orang datang kesini.

"Maaf telah merepotkanmu." Akhirnya Wendi angkat bicara.

'Oh ayolah. Lalu apa gunaku jika hanya diam dan melihat tanpa melakukan apapun? Oh, iya. Aku belum membalas suratmu." Kulihat wajah Wendi yang memerah. "Tunggu sebentar." Aku berjalan menuju jendela kelas terdekat, meminjam gitar dari kelas itu.

"Boleh kubalas suratmu dengan sebuah lagu?" Tanyaku pada Wendi yang dibalas dengan anggukan pelan. Pelan sekali hingga tidak terlihat seperti anggukan. "Ikutlah bernyanyi jika kau tahu lagunya."

Kumilai dengan alunan gitar.

Ada yang lain di senyummu
Yang membuat ludahku
Gugup tak bergerak

Ada pelangi di bola matamu
Yang memaksa diri, 'tuk bilang,
Aku sayang padamu.

Kuletakkan gitar diatas meja taman, lalu mengajak Wendi berdiri sambil menggenggam tangannya. Aku benar-benar tenggelam ke dalam mata cokelatnya. 

"Wendi, please be mine." Ujarku pada perempuan di hadapanku. Wendi sedikit tertunduk, lalu mengangguk. "Hey," kuangkat dagunya, lalu kukecup bibirnya.

  *****  

"Begitulah ceritanya, waktu ayah bertemu dengan ibu mu." Ujar Irza pada Rizka, anak perempuannya. Wendi di seelahnya mencubit lengan suaminya.

"Hey, mengaka kau menceritakannya?" Tanya Wendi sebal.

"Cerita yang manis. Aku tidak membayangkan wajah ibu yang memerah. Aku juga tidak menyangka memiliki orang tua yang populer saat SMA."

Kalau sudah takdirnya, mau gimana lagi?"

The End.

playlist: Jamrud - Pelangi di Matamu.

Isi HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang