Memory Eleven: Kurasa Dia... (Anya & Aril) (Pt. 1 || Anya's POV)

33 0 2
                                    

ting!!

Tidak biasanya Karina mengirimiku pesan sepagi ini. Biasanya dia baru membuka handphonenya pukul setengah sepuluh, sedangkan sekarang masih pukul delapan.

"Teman kami saat SMP akan ikut bergabung dengan kita sore nanti."

Terserah kalian saja. Kalian yang membuat agenda.

Semalam, mereka berermpat--Karina, Bela, Ali, dan Arya--memaksaku ikut bersama mereka. Mereka berencana akan pergi menonton di bioskop hari ini. Kurasa tidak ada salahnya jika aku pergi dengan mereka.

Aku menghela nafas pendek. Aku melihat kalender dan baru menyadari sekarang sudah tanggal 28 Desember. Liburan sudah hampir berakhir. Lima hari lagi semester baru dimulai. Tapi, bukan itu yang aku pikirkan. Aku memikirkan rencana teman-temanku. Kurasa ini ada hubungannya dengan ulang tahunku, hari ini.

"Anya!" terdengar suara ibu dari ruang makan. Kurasa dia menyuruhku untuk sarapan. "Turunlah! Ibu sudah menyiapkan sarapan!"

"Baik, bu!"

Aku berjalan meninggalkan kamarku, lalu menuju ke ruang makan. Sudah ada ayah, ibu, dan Tedd di sana. Mereka sedang khidmat menyantap sarapan.

Saat aku duduk di kursi sebelah Tedd, bocah itu terlihat gelidah, seperti sedang menyembunyikan sesuatu di balik kakinya.

"Kau kenapa?" tanyaku pada Tedd, adik laki-lakiku. Kurasa ia terkejut dengan pertanyaanku, atau mungkin ia terkejut karena aku mengajaknya bicara.

"Ti-tidak. Tidak ada apa-apa." balas Tedd dengan gelagapan.

Sudah kuduga. Aku memilih diam dan melanjutkan sarapanku. Lima menit kemudian, mereka bertiga sudah selesai menyantap sarapan mereka.

"Anya, kami ada sesuatu untukmu." Ayah membuka pembicaraan setelah aku menyelesaikan sarapanku. Sejurus kemudian, ibu pergi entah kemana, lalu kembali dengan membawa kue tart bertuliskan "Happy Sweet Seventeen, Anya". Entahlah, meski aku sudah menduganya, tetap saja ini membuatku senang. Bagaimana pun, mereka mengingat ulang tahunku.

"Selamat ulang tahun, Kak Anya."

Tedd mengeluarkan sesuatu dari  balik kakinya. Itu adalah sebuah kado yang ia bungkus dengan rapi.

"Oh, terimakasih, Tedd. Apa isinya?" tanyaku setelah menerima kado dari Tedd.

"Buka saja."

Aku mulai membuka kado itu. Anak ini benar-benar membungkus dengan rapi. Di dalam kado itu terdapat kaos berwarna putih bertuliskan "Kakak Terbaik di Dunia".

"Astaga, Tedd. Ini sungguh manis. Terimakasih banyak." aku menatap ibu dan ayah. "Terimakasih ibu, ayah, aku sangat senang kalian merayakannya."

Ibu tersenyum menatapku. "Sebelum itu, kau harus meniup lilinnya terlebih dahulu. Sepertinya kau terlalu bersemangat hingga lupa."

Aku tersenyum kikuk mendengarnya. Kutipu perlahan lilin berbentuk angka satu dan tujuh itu. setelah memanjatkan permohonan.

*****

"Bersiaplah. Kami sedang menuju ke sana." kata Karina di pesan yang ia kirimkan.

"Aku bahkan sudah siap sejak 5 menit yang lalu." balasku pada Karina.

Pukul setengah empat sore, udara mulai menghangat setelah hujan tadi siang. Pekarangan rumah juga masih sedikit basah.

Tunggu. Berarti aku tidak perlu membawa motorku, 'kan? Aku bisa berboncengan dengan anak itu karena kami genap berenam. Lalu, untuk apa aku susah payah mencari kunci motorku?

Isi HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang