Akhir

390 6 1
                                    


Keesokan harinya setelah sarapan aku pamit dengan bu Nana untuk pergi kerumah papahku. Sebenarnya aku tidak ingin bertemu dengannya lagi mengingat apa yang telah papah lakukan padaku. Setibaku dirumahnya jantungku berdegup kencang perlahan ku langkahkan kaki dan memasuki rumah, tepat diruang tamu jantungku berdegup lebih kencang. Aku lihat papah terbaring dilantai dengan pisau tertancap diperutnya, aku terdiam beberapa detik memastikan kebenaran apa yang ku lihat.

"to..long" lirih suara papah menarikku mendekatinya.

"siapa yang melakukannya pah" pertanyaan bodoh dalam waktu yang tidak pas ku lontarkan. Tangan papah menggenggam keras tanganku membuat aku mengigit bibirku. Tanpa membuang waktu lagi ku bawa papah dengan mobilnya yang terparkir didepan garasi. "pah, tahan sebentar lagi kita sampai rumah sakit." Aku menenangkan papah dan membuatnya tetap terjaga. Papah terus merintih kesakitan dan menggenggam HP ditangannya, dengan rasa penasaran kuambil HP dari tangannya. Tidak ada yang aneh dari HP ini hanya terdapat catatan berupa angka yang tidak aku mengerti.

Papah tergulai lemas tanpa kesadarannya di kamar rumah sakit. Aku memandang wajahnya yang berjuang melawan rasa sakitnya dari balik kaca jendela ruangan itu.

"selamat siang." Suara seseorang membuyarkan lamunanku.

"iya selamat siang, bagaimana pak?" dengan spontan kuluntarkan pada bapak berseragam polisi yang menyapa ku.

"kami telah menerima laporan anda dan kami telah pergi kerumah ayah anda, kami tidak menemukan sesuatu yang menyangkut tentang kejadian yang terjadi pada ayah anda." Penjelasan bapak berseragam itu melemaskanku, aku menghela napas panjang dan berpikir cara lain bagaimana mengetahui apa yang terjadi dengan papah. "tapi kami menemukan cctv pada tempat kejadian mungkin rekaman itu dapat memberikan informasi lengkap yang kita butuhan, jika ada perkembangan kami akan kabarkan." Penjelasan terakhir bapak berseragam ini memunculkan sedikit semangatku.

"terimakasih pak." Aku menjabat tangan bapak itu dengan sedikit senyuman. Setelah bapak itu pergi aku masuk ke kamar papah kupegang lengan papah yang sedikit terasa dingin, seumur hidupku baru kali ini aku menyentuh lengan papah tanpa rasa marah diwajah papah dan pukulan yang akan ku terima, entah apa yang kurasakan apa aku harus merasa senang atau sedih melihat papah seperti ini. Aku ingat apa yang papah lakukan pada ku membuat emosiku memuncak tapi kuingat apa yang dikatakan bu Nana walau papah seperti itu dia tetap orang tuaku.

Tiba-tiba papah bergerak-gerak tidak beraturan yang membuat lamunanku buyar. Aku panik dan keluar masuk kamar dengan berteriak meminta suster dan dokter cepat datang. Papah menggenggam tanganku dengan kencang dan melirik kearahku.

"tenang pah dokter akan dat..." sambil menahan sedikit rasa sakit dari genggaman papah aku berusaha menenangkan papah.

"m...a...a..f.. R..r..ee...n" dengan suara yang berat dan tubuh sudah mulai melemas papah membisikkan kalimatnya. Dokter datang memeriksa papah membuat jantungku berdegup kencang dan hal-hal buruk terus terisi dikepalaku.

Dokter keluar dan menemuiku menempatkan tangannya dipundakku yang membuat isi pikiranku benar-benar buruk.

"maaf kami sudah melakukan semampu kami tapi mungkin Tuhan punya kehendak lain, ayah anda meninggal." Dokter itu melepaskan tangannya dari pundakku. Seketika itu napasku tersengal beberapa detik pikiranku kosong apa yang ada dalam pikiranku tadi lenyap seketika, aku terduduk lemas berharap apa yang dikatakan dokter tadi hanya gurauan saja tapi itu tidak mungkin. Dengan wajah tertunduk kulihat papah yang telah tertutup kain putih keluar dari kamar bersama para suster yang mendorong tempat tidur itu. Aku berlari mengejarnya, dengan tangan yang gemetaran aku membuka kain putih yang menutupi wajahnya dan kulihat papah terbujur kaku dengan wajah yang sudah mulai memucat. Aku terdiam kaku mematung memastikan apa yang aku lihat itu benar-benar nyata.

Aku tiba dirumah, baru aku melangkahkan kakiku masuk kerumah terasa sesak dadaku bayangan papah yang selalu memukulku terlihat jelas disetiap sudut rumah ini. Kupergi kekamar papah yang belum pernah sekalipun aku masukinya karena papah selalu melarangku untuk dekat dengan kamar ini, ku duduk dipinggir tempat tidur bau harum lembut memenuhi seisi ruangan, mataku tertuju pada lukisan diseberang tempat tidur, lukisan berukuran cukup besar dengan papah memeluk seorang wanita didalam lukisan itu dan kupastikan itu bukan Lisa ibu tiriku.

"Lovia" kata yang terdapat pada ujung kanan tulisan itu. "ibu?" aku terus melontarkan kata-kata itu yang aku yakini memang dia ibuku. Aku terus menerus menyentuh lukisan itu dan tak sengaja menggeser lukisan tersebut. Terlihat dibalik lukisan itu terdapat berankas yang terkunci, berkali-kali aku mencoba membuka isi berangkas tapi tak kunjung berhasil hingga aku teringat apakah HP yang papah pegang dengan angka-angka itu mungkin kata sandinya. Aku mengeluarkan HP papah yang ku bawa dikantung celana dan kumasukkan sandinya, aku kaget melihat isi dalam berangkas itu, terdapat uang yang bertumpuk, kotak perhiasan, surat-surat tanah dan buku tabungan. Belum sempat aku menyentuh isi dalam berangkas itu HP ku berbunyi segera kukunci berangkas itu dan pergi meninggalkan rumah papah.

"bagaimana pak?" aku duduk didepan pria berseragam polisi dengan pertanyaan.

"didalam rekaman itu ayah anda sedang bertengkar dengan seorang wanita memperebutkan HP lalu ditancapkannya pisau yang dipegang oleh wanita itu kepada ayah anda." Dengan memberikan foto dari rekaman polisi itu menjelaskan. "anda mengenal wanita itu?" polisi itu melanjutkan.

"dia adalah ibu tiri saya namanya Lisa pak." Dengan wajah tak heran lagi aku menyebutkan, pantas saja dia tidak terlihat dirumah dan tidak bisa kuhubungi.

"baik, kami akan memproses kasusnya dan akan menangkap wanita itu." Aku menyalami polisi itu dan pergi.

Setelah berminggu-minggu sejak papah meninggal aku baru bisa kembali ke panti asuhan bu Nana, aku membawakan banyak hadiah untuk anak-anak disana. Bu Nana menyambut dengan hangat kedatanganku begitu juga Hilfa senyumannya tidak berubah saat pertama kali aku datang kesini. Aku menceritakan apa yang aku alami saat meninggalkan panti ini dan aku senang mereka menganggapku sebagi saudara. Ini pertama kalinya aku memiliki saudara terlebih bu Nana ia mengizinkan aku menganggapnya sebagai seorang ibu untukku, itu adalah kebahagian terbesar yang pernah kudapatkan merasakan kasih sayang dari sosok ibu. Kini aku melanjutkan sekolah untuk dapat mempertahankan apa yang dimiliki papah, selain sekolah aku pasti menghabiskan waktuku untuk panti yang memberikan kebahagian ini.

Ibu PenggantiWhere stories live. Discover now