Namaku Jingga Rain Natasha. Usiaku 9 tahun, kala itu aku duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar. Sore itu seperti sore-sore sebelumnya, aku selalu menghabiskannya dengan duduk di pinggir danau yang tak jauh dari rumahku untuk menikmati indahnya sinar matahari sore yang hendak pergi ke peraduannya, di temani dengan sebuah buku harian bersampul sunset yang indah sambil menuliskan beberapa bait puisi. Tanpa sadar ternyata sedari tadi ada seorang anak laki-laki yang memerhatikanku dari belakang sana.
"Hei! Lagi ngapain?" Dia menyapa sambil menepuk bahu sebelah kananku dan membuatku menoleh ke arahnya. Aku agak terkaget karena tak tau dari mana asalnya.
"Aku sedang mengagumi salah satu ciptaan tuhan." Kataku sembari kembali memandang matahariku yang kini hampir tenggelam dengan sempurna.
"Ciptaan tuhan?" Wajah polosnya menyiratkan raut kebingungan.
"Iya. Ciptaan tuhan, sebuah keajaiban yang tuhan ciptakan dan sangat indah di lihat, meskipun kadang kala mendung menghalangi kecantikan sempurnanya." Kataku sambil menoleh ke arahnya, berusah membuatnya tertarik juga dengan senja. Namun sayang, ia malah semakin kebingungan dan membuatku agak kecewa. "Hemm ... yang aku maksud itu senja, matahari yang hampir tenggelam." Baru lah ia akhirnya ia mengangguk-anggukan kepala sambil berkata "Oh" dengan panjang.
"Oh iya, Kenalin namaku Renaldi Anggara Putra. Kamu bisa panggil aku Aldy aja. Aku baru pindah dari Surabaya." Katanya sambil menyodorkan tangan kanan ke arahku.
"Namaku Jingga." Aku menyambut uluran tangannya. "Rumahku disana." Sambungku sambil menunjuk sebuah rumah kayu yang tak jauh dari tempat kami saat itu.
"Dan yang itu rumahku. Wah enggak nyangka yah ternya rumah kita deketan." Cetus Aldy sambil menunjuk sebuah rumah bercat abu-abu dua lantai sebelah barat sebrang jalan rumahku. Aku menelesik raut kebohongan yang tampak di wajahnya, karna yang ku ketahui itu adalah sebuah rumah angker, namun nihil.
"Eh kamu belum mau pulang? Ini udah hampir gelap loh." Pertanyaan Aldy menyadarkanku dari lamunan.
"Em ... kamu duluan aja deh, sebentar lagi juga aku pulang." Jawabku.
"Oh ya udah kalo gitu aku duluan yaa Jingga. Daahh!" Kata Aldi sambil melambaikan tangannya belalu meninggalkanku sendiri.
Aku membala lambaian tangannya, lalu iya berbalik badan dan terus berjalan. Tanpa sadar bahwa aku terus memerhatikan punggungnya hingga ia menghilang di balik pagar rumah yang ia tunjuk tadi baru kemudian aku beranjak dari tempat itu.***
Di sisi lain seorang bocah laki-laki berusia 12 tahun yang masih sedikit terengah-engah karna naik tangga dengan cepat sedang duduk di depan jendela sambil memandang ke arah luar berharap seseorang akan melewati jalanan di depan rumahnya. Namun naas, bukan keceriaan yang menghapri tapi ... brugh ... suara sebuah mobil sedan berwarna merah menghantam tubuh seorang gadis kecil. Ia segera berlari sekuat tenaga menuruni tangga rumahnya.
Dalam perjalanannya menuju keluar dia berdoa pada tuhan agar gadis kecil yang tertabrak itu bukanlah gadis kecil yang ia tunggu. Namun ternyata tuhan tak mendengar doanya, gadis itu adalah gadis yang tengah ia tunggu. Ya, itu adalah Jingga. Gadis kecil itu terpental ke trotoar dan terkulai lemas dengan darah yang mulai mengalir. Aldy berusaha untuk meminta pertanggung jawaban pada sang pengemudi namun sayangnya orang itu malah melarikan diri.
Dengan langkah agak berat Aldy menghampiri tubuh Jingga yang kini mulai bersimbah darah sambil terus berusaha menahan ketakutannya akan darah. Tubuhnya bergetar hebat saat ia berhadapan langsung dengan tubuh Jingga yang yang terkulai lemas, ia bingung harus berbuat apa. Handoko ayah Aldy yang juga mendengar suara keras tadi akhirnya keluar rumah dan mendapati Putranya yang tengah berjongkok di depan seorang gadis kecil yang berdarah-darah.
Handoko memerintahkan Aldy untuk memberi tahu Ibu Jingga karena putrinya harus segera di larikan ke rumah sakit.Tak butuh waktu lama sebuah mobil sedan berwarna putih langsung terparkir tepat di depan pintu masuk rumah sakit. Dua orang pegawai rumah sakit berpakaian putih dengan sigap membawa tubuh kecil itu ke atas brankar dan membawanya kedalam ruang UGD untuk mendapatkan perawatan.
Air mata terus saja menganak di pipi Wulan Ibu jingga, bagai mana tidak, putrinya kini terbaring lemah di dalam sana. Sambil menunduk air mata Wulan terus saja bercucuran. Sebuah tangan besar mengelus bahu Wulan dengan lembut dan sabar. Perlahan Wulan mengangkat kepalanya dan membuka matanya yang kini sudah membengkak sempurna karena tak berhenti menangis sejak tadi. Setelah benar-benar mendapati orang itu adalah suaminya Wulan langsung berhambur kedalam dekapan pria itu, kembali menumpahkan air matanya.
"Sudah lah Ma, jangan terlalu banyak menangis. Jingga itu anak yang kuat, dia akan segera sembuh. Lebih baik Mama doakan tidak terjadi apa-apa pada Jingga." Ucap Gilang Papa Jingga berusaha menenangkan istrinya yang masih saja menangis. Sampai akhirnya seorang Pria paruh baya akhirnya keluar dari sebuah ruangan di hadapan mereka.
"Bagaimana kondisi anak saya Dokter?" Tanya Wulan.
"Anak Ibu dan Bapak sudah kami tangani namun, Bagian belakang kepala anak kalian sepertinya mengalami benturan yang cukup keras sehingga dia akan merasa sakit jika terlalu lelah. Jadi saya minta biarkan anak Bapak dan Ibu untuk istrirahat yang cukup dulu untuk beberapa hari ini, juga jangan biarkan dia kelelahan. Anak Bapak dan Ibu akan segera di pindahkan keruang inap, jadi saya permisi dulu." Dokter tersenyum lalu meninggalkan Wulan dan Gilang. Akhirnya mereka bisa sedikit bernafas setelah mengetahui tentang keadaan anak mereka.
Sesek guys sesek gue nulisnya😂😂😂 mulai dari wawancaranya yang rada alot, hp mati karna mati lampu, dan sempet ngerasa down karena berasa ngorek2 masa lalu orang lain. Tapi atas suport dari GC terbaik akhirnya selesai juga bab ini😂 jangan lupa vote dan komen yaaa udah segitu aja dari aku bye😘😙

KAMU SEDANG MEMBACA
Berita Dari Angin Senja(New Vesion)
RomanceBagi Jingga, Aldy adalah sahabat sekaligus kekasih yang ia cintai, namun seperti wanita kebanyakan selalu ada rasa gensi dan canggung untuk mengungkapkan perasaannya Bermula dari pertemuan tak sengaja di danau dekat rumahnya dan menjadi sesuatu yang...