Bab 3.1

48 13 13
                                    


Siaran televisi itu menjadi teman pengisi waktu luang selepas makan malam.

Aku, terlampau nyaman membaringkan kepala di kedua paha ibu yang tengah duduk di sofa panjang. Belaian lembutnya, membuatku hampir terlelap, dan makin membenamkan kepala pada perut sedikit buncitnya.

Dapat kudengar ibuku terkekeh geli bersama ayah, yang duduk tepat di samping kirinya. Mungkin mereka heran, melihat tingkah manjaku yang tidak biasa.

Mataku hampir sepenuhnya tertutup, seiring belaian ibu yang belum juga berhenti.

"Pindah ke kamar, Ra, jangan tidur di sini." Suara bariton milik ayah, secara samar merambat masuk ke gendang telingaku.

Aku malah makin merapatkan tubuhku pada ibu, memeluk perutnya dengan erat, merasa tidak rela melepas kenyamanan yang kurasakan sekarang.

"Anakmu, Bu, sejak kapan jadi semanja ini?" Katanya, masih kuabaikan.

Kudengar, ibu terkekeh pelan. Menyisir surai rambut berwarna hitamku, dengan jari tangannya.

"Ibu tidak menyangka, kamu udah sebesar ini, Ra." Kali ini suara lembut ibu, yang terdengar masuk telingaku. "Perasaan, baru kemarin ibu masih gendong-gendong kamu."

Senyumku merekah mendengar kalimat itu, lantas menyahut, "iyalah, Bu, masa Ara mau kecil terus."

Kedua orang tuaku tertawa, mengabaikan suara tv yang entah tengah menayangkan apa. Terkadang aku merasa beruntung karena memiliki orang tua yang sibuk, tapi masih memperhatikan anak semata wayangnya.

Ayahku itu seorang kepala koki di sebuah restoran yang tidak begitu besar. Sedangkan ibu, hanya sebatas ibu rumah tangga yang menyelingi waktu luangnya dengan membuka usaha kue kecil-kecilan.

Punya orang tua yang jago masak, aku terkadang sedih, kenapa bakat itu tidak menurun kepadaku?

Kalian tahu? Saking bodohnya aku tentang urusan dapur, masak telur mata sapi saja hangus melulu.

"Gimana kuliahmu, Ra?" tanya ayah, yang membuatku merubah posisi, dari yang tadinya tidur menyamping jadi sedikit mendongak untuk bisa menatap wajah penuh wibawanya.

"Alhamdulillah lancar-lancar aja, Yah, minggu depan aku ujian akhir semester."

"Siapkan diri dari sekarang, Ra, jangan mainin ponsel terus." Nasihat ayah sembari membenarkan letak kacamatanya.

"Tiap malam aku belajar kok, Yah," jawabku yang mendapat cibiran dari ibu.

"Ibu tau loh, Ra," kata ibu yang kubalas dengan raut merajuk.

Sudah jelas, pasti ibu tersayangku ini sering mengintip di balik pintu kamar yang jarang kukunci. Karena sifat teledorku, aku suka lupa mengunci pintu, bahkan pernah semalaman penuh lupa mengunci jendela kamar, untung tidak ada maling yang masuk diam-diam.

Kulihat, ayah cuma menggelengkan kepalanya. Mungkin merasa maklum, apalagi umurku sekarang sudah masuk usia dewasa, di mana aku sudah bisa menempatkan hak dan tanggung jawabku pada porsinya. Selagi tidak melewati jalur kebebasan yang sudah ditetapkan ayah, ayah pasti tidak akan campur tangan.

Kami hanyut dalam obrolan kecil, aku sih lebih senang menyebutnya sebagai quality time. Satu waktu yang sudah wajib ada dalam keluargaku, tidak boleh tertinggal walau cuma sehari. Karena kata ayah, waktu bersama keluarga itu nomer satu, selebihnya ya boleh menyusul.

Di tengah obrolan hangat itu, satu pertanyaan dari mulut ibu, membuat suasana hatiku mendadak mellow.

"Oh iya, Ra, gimana kabarnya Genta?"

Dari situ aku menyadari satu hal... bahwa sepenggal namanya, mampu memberi pengaruh besar untuk diriku. Dan aku benci untuk mengakui, itu satu fakta yang menyebalkan.

***

Selepas quality timeku bersama ayah dan ibu, aku izin pamit untuk masuk ke kamar. Mempersiapkan diri, untuk menjadi perempuan paling melankolis seantero Jakarta.

Sehabis mengirim pesan singkat kemarin, aku tak hentinya meneror Genta dengan berbagai macam pesan singkatku. Seputar hal random yang terbilang basa-basi, berharap ada satu dari pesan itu yang akan dibalas olehnya.

Tapi, harapan hanya sebatas harapan. Nyatanya, Genta yang dulu telah pergi dibawa masa lalu.

Dulu bahkan dia tidak pernah mengabaikan pesanku walau semenit, tapi sekarang? Aku merasa hidupku seolah dijungkir balikkan dengan keadaan, dihantam bertubi-tubi oleh satu kata 'cinta' yang tak berarti.

Sebenarnya, aku memiliki pertanyaan besar dalam benakku, sejatinya cinta itu apa? Kenapa bisa membuat orang seperti ini? Merasa digilai dan dibutakan, bahkan anehnya 'cinta' bisa mengambil alih seluruh aktifitas kehidupan orang.

Bukankah makin lama makin menyeramkan?

Aku menyadari itu, tapi seolah tidak mau bangkit, memilih semakin tenggelam dalam kolam masygul.

Aku kembali mengambil ponselku, melihat beberapa notif dari teman kuliahku, menanyai seputar tugas kelompok untuk presentasi besok.

Aku mendengus sedih, dari sekian banyak pesan masuk, tidak ada satupun nama Genta di dalamnya.

Dengan rasa tak tahu malu, aku mulai mengetikkan jari jemariku di atas layar touchscreen itu. Aku sudah tidak peduli Genta mau menganggapku apa, yang jadi tujuanku cuma satu, yaitu :

Mendapatkan perhatiannya kembali.

Ara

Sepulang kuliah, aku mau mampir. Kamu belum pindah rumahkan?

***

"Kamu gila ya, Ra?" umpat Alika ketika mengetahui rencanaku yang ingin berkunjung ke rumah Genta.

Aku menunduk menatap segelas lemon tea di hadapanku, mengaduknya perlahan, tidak memedulikan umpatan Alika.

"Setelah putus kalian tuh lost contact, kenapa tiba-tiba mau ke sana lagi?" Kulihat dia menghela nafasnya kasar, seolah tak percaya dengan ucapanku barusan.

"Apa salahnya? Memutus silaturahim tuh dosa, Lik," ucapku santai, seraya menyeruput minumanku yang hampir habis.

Alika memutar bola matanya kesal, lantas tertawa mengejek. "Gak usah membicarakan perihal silaturahim, Ra. Setahun lalu, justru kamu yang lebih dulu memutus tali hubungan itu."

"Justru itu, Lik, ini usahaku untuk mencoba merekatkannya lagi."

"Merekatkan gundulmu, dia sudah punya pacar bodoh."

Suara tawaku membahana mendengar satu kalimat itu dari mulutnya. Merasa geli, karena sebelumnya tidak pernah mendengar seorang Alika mengumpat sampai seperti ini.

Sepersekian detik, aku sudah mendapat banyak perhatian dari beberapa mahasiswa yang tengah duduk-duduk di dalam kantin universitas.

"Tertawalah sepuasmu, Ra," ucapnya dengan wajah kesal yang sangat menggemaskan.

Aku menarik nafas dalam, dengan sisa tawa yang kian melemah, aku berkata, "Kamu lucu...."

Sahabatku itu hanya membuang wajahnya menghadap pintu keluar kantin, dan aku hanya tersenyum geli melihat semua itu.

"Kamu bilang dia sudah punya pacar? Lalu kenapa?" tanyaku mencoba serius, walau nyatanya masih ada nada geli yang terselip dalam kalimat itu. "Lagian, hanya sebatas pacar kan? Belum jadi tunangan ataupun istri? Jadi kupikir, aku masih bisa menyelip dong."

Kata-kataku barusan, mampu menarik perhatian Alika kembali. Tapi, kali ini dia menatapku dengan wajah terkejut yang menyebalkan, matanya membola, dan mulutnya terbuka lebar.

"KAU BENAR-BENAR SUDAH GILA YAA?!" teriaknya yang kubalas dengan tawa membahana 'lagi'.

Aku tak memedulikan tatapan sinis orang-orang yang mulai menetapkanku sebagai pengganggu. Aku sungguh tidak bisa meredakan tawa ini, hingga membuat perutku sakit sendiri.

"Ya... kamu benar, Lik. I think, i'm gonna be crazy," lirihku menyerupai gumaman.

Only YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang