Bab 4.1

30 11 16
                                    

"Genta—"

"Udah, Ra... jangan seperti ini," pintanya dengan suara sendu. "Perlu kutegaskan kembali, bahwa kita... udah berakhir, tepat di satu tahun yang lalu."

Kata-kata terakhirnya, terus terngiang dalam otakku. Tak memberiku jeda sedikitpun untuk berpikir hal realistis yang lain, hanya boleh dia, dia, dan dia.

Aku masih mematung, menatap anak tangga melingkar, tempat terakhir yang memisahkan aku dengan Genta.

Setelah mengucapkan satu kalimat penuh menyakitkan itu... Genta pergi. Benar-benar pergi begitu saja, tanpa mau menoleh kembali.

Aku meringis, memegang dadaku yang cukup sesak sekarang ini. Dia benar-benar berubah menjadi lelaki dingin paling menyebalkan yang pernah kukenal.

Tapi, dia pikir aku akan menyerah setelah semua sifatnya yang seperti itu? Kalau iya, kupikir Genta belum mengenalku dengan cukup baik.

***

Sesuai janjiku yang ingin mengambil kembali, apa yang pernah aku miliki. Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap ingin pergi ke suatu tempat. Suatu tempat yang akan mempertemukanku dengan Genta pastinya.

Kemarin, aku sedikit mencuri informasi dari bunda Lily perihal kegiatan Genta hari ini. Dan siapa sangka? Ternyata lelaki itu tengah fokus mengikuti sebuah kelas photography di bilangan Jakarta.

Sedari dulu, dia memang menaruh minat berlebih pada dunia itu. Tapi aku tidak menyangka, kalau pada akhirnya dia punya kesempatan untuk memfokuskan diri pada hal yang disenanginya.

Sedikit informasi, Genta itu baru saja menyelesaikan studynya sebagai mahasiswa jurusan IT yang menekuni bidang Programmer, di sebuah Universitas swasta,  Jakarta Timur. 

Sebenarnya, dia bercita-cita ingin jadi Fotografer terkenal, tapi terhalang 'izin' sang ayah.

Aku cukup senang,  bahwa setelah sekian lama, akhirnya dia berani mengambil langkah dan memiliki sedikit waktu untuk menyalurkan semua bakatnya dalam dunia photography. Kupikir, tidak ada kata terlambat untuk hal itu.

"Bu, Ara pergi dulu ya," pamitku pada Ibu yang tengah menyiapkan sarapan di meja makan.

"Loh, gak sarapan dulu?"

"Nanti bisa makan di jalan, Bu. Ara lagi buru-buru."

"Mau ke mana? Bukannya kamu gak ada kelas hari ini?" tanya ibu yang mulai menaruh curiga padaku.

Aku mengambil sepotong roti yang telah dibalur selai coklat di atasnya. "Biasa, Bu, urusan anak muda."

Kulihat, ibuku hanya menggelengkan kepala seraya meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda tadi. “Setidaknya, tunggu dulu ayahmu turun, biar ayah gak rewel nanyain kamu kemana.”

“Bu, Ara bener-bener harus pergi sekarang,” ucapku dengan nada yang terkesan merengek. “Ibu nanti bisa bilang ayah kan, Bu? Pleaseeee....” 

Terdengar helaan nafas kasar dari mulut ibu, yang mengundang senyum jenaka terbit di wajahku. Aku tahu, ibu itu tidak bisa bilang tidak jika anak gadis kesayangannya sudah memohon.

Antara tidak tega dan malas berdebat mungkin. Mengetahui fakta, bahwa aku anak yang keras kepala.

“Yasudah sana, inget waktu kalau kemana-mana, jangan menyalah gunakan kepercayaan ibu dan ayah.” Petuahnya yang kubalas dengan anggukan semangat.

Setelah mencium tangan kanan ibu, aku sedikit berjinjit untuk mencium kedua pipinya bergantian. Masih dengan senyum merekah, aku menyampirkan tali ranselku yang sedikit melorot ke atas pundak. Kemudian, pergi meninggalkan ibu yang melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi.

Only YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang