Bab 5.1

42 9 6
                                    

Langit megah itu selalu menjadi pemandangan favoriteku, entah sejak kapan. Bias biru bercampur putih dari segumpalan kapas yang mengapung itu, seolah menghipnotisku untuk terus mendongak, seperti ada sensasi tersendiri yang memberikan kenyamanan.

Ini sudah cukup memberi efek baik, untuk hatiku yang baru saja hancur.

Angin sepoi-sepoi menerbangkan helai demi helai rambutku. Udara siang ini cukup sejuk, setalah hujan deras yang mengguyur kota pagi tadi. Matahari mulai muncul dengan malu-malu, bersembunyi di balik gumpalan kapas yang seperti membentuk seekor domba berbulu tebal.

Aku tersenyum miris mengingat kejadian pagi tadi. Setelah mengucapkan kata-kata menyakitkan itu, Genta memilih pergi dengan perempuannya. Mengingat, aku yang keras kepala tidak mau pergi saat sudah diusir secara halus.

Mereka pergi, di tengah hujan yang masih cukup deras. Meninggalkan aku sendiri, termenung menatap sisa pesanan makanan yang mereka tinggalkan.

Aku merasa menjadi pribadi yang begitu buruk, setelah kepergiannya. Rasa bersalah menyelimutiku, tapi masih berusaha kutepis jauh-jauh.

Sekitar setengah jam aku berdiam di sana, dengan beberapa kali mendapat pandangan tak mengenakan, yang sekuat hati kucoba abaikan. Berkali-kali pelayan datang, menanyakan sesuatu untukku pesan. Tapi, rasa laparku sirna, membuatku hanya memesan satu gelas lemon tea, karena merasa tak enak.

Selepas itu, tepatnya setelah huja reda, aku berjalan tak tentu arah, tidak mau pulang, hanya mengikuti kemanapun kaki ini melangkah.

Akses bepergianku hanya menggunakan busway, mengabaikan beberapa halte pemberhentian. Hanya diam, melamun memikirkan kebodohanku selama di perjalanan.

Setelah masuk waktu zuhur, aku memutuskan untuk berhenti di sebuah halte, yang tidak jauh dari tempat tinggalku. Melangkahkan kaki ke sebuah masjid, untuk melaksanakan kewajibanku sebagai umat muslim. Hingga selepas sholat zuhur, aku berakhir di sini, di taman ini, taman dekat rumahku, yang menjadi tempat favorite untuk menenangkan diri.

Jika di waktu siang, keadaan taman tidak ramai. Hanya ada satu dua orang yang hanya sekedar lewat, tidak ada yang menepi dan singgah sementara untuk sekedar duduk-duduk.

Aku tidak begitu terkejut, lebih mengarah pada sikap abai ketika merasakan seseorang duduk tepat di sampingku, dengan deru napas yang terengah-engah.

Punggungnya bersandar pada bangku besi yang kududuki, kepalanya menengadah, terlihat kelelahan, seperti habis berlari.

"Tahu dari mana aku di sini?" tanyaku, pada sosok Alika yang kini hanya mengenakan celana training dan kaus putih berlengan pendek.

Dia menatapku tajam, menegakkan tubuhnya, dan mengubah posisi duduknya mengarah padaku. "Kamu...," ucapnya sambil mengacungkan jari telunjuk ke arahku. Membuatku mengeryit heran, tak mengerti dengan jalan pikirnya.

"Dasar gadis bodoh! Sahabatku yang begitu bodoh, dan tidak punya otak!" hardiknya membuatku makin mengeryitkan dahi pertanda tak suka.

Aku mulai tahu arah pembicaraanya.

"Cepat beri tahu aku, apa yang sebenarnya lelaki itu katakan! Hingga membuatmu menangis tersedu-sedu, di sambungan telepon beberapa menit yang lalu."

Aku menghela napas dengan berat, memang... beberapa menit yang lalu, aku sempat menelpon Alika, sekedar mengurangi beban hati yang sudah tidak kuat kubendung sendiri. Aku hanya menangis, tidak banyak bicara, hanya memberitahukan intinya, bahwa aku... pergi menemui Genta.

Gadis yang sudah menyandang status sebagai sahabatku dari kecil itu, hanya terus mendesak dengan beribu tanya, tapi tak kuabaikan.

"Kamu gagu ya?" Alika akan berubah jadi perempuan cantik yang menyebalkan jika sudah seperti ini.

Only YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang