***
“Betah?” tanya Vida yang berjalan di sisi kiri Salena.
Salena menoleh, lalu mengangkat bahu.
“Belum, nanti juga terbiasa.” Dasha merangkulnya dari sisi kanan, tersenyum, menenangkan.
Salena mengangguk-angguk pelan.
“Tinggal sama Papa nggak semengerikan yang lo bayangkan, kok,” ujar Vida dengan wajah ceria. Sejak kecil, kedua orangtua Vida sudah bercerai, dan sejak saat itu dia ikut dengan ayahnya karena ibunya sudah mengambil alih hak asuh dua adiknya. “Awalnya memang aneh, karena biasanya, kalau dengan Mama semua urusan di dunia kayak udah diambil alih, kita tinggal jalan aja.”
Salena menoleh, tertarik mendengar ucapan Vida selanjutnya.
“Kalau sama Papa, kita ngak tahu hal mengejutkan apa yang akan terjadi setelah ini dan itu.” Vida tertawa. “Tapi lebih seru.”
Salena hanya tersenyum.
“Keuntungan lainnya adalah: kita akan jarang dapat omelan, uang saku bertambah secara signifikan, dan kalau mau beli apa-apa nanyanya nggak ribet.” Vida bertepuk tangan.
Dasha terkekeh. “Sesenang itu?”
“Menutupi kesedihan lain,” lanjut Vida dengan tawa miris.
Seorang anak korban perceraian sudah tidak lagi memiliki kebahagiaan yang utuh, Salena tahu itu. Jika satu kebahagiaan datang, di ruang lain masih tersisa perasaan kosong, hampa, kesal, kecewa, marah, dan perasaan buruk lainnya—yang disembunyikan.
“Lo akan baik-baik aja tapi, Le.” Vida menarik kedua pipi Salena.
Salena mengangguk.
“Lo diem terus dari tadi, Le.” Komentar itu diucapkan oleh Devda yang membuntuti mereka sejak tadi, di belakang. “Bikin khawatir aja.”
Salena menghentikan langkahnya, lalu menoleh pada cowok berkacamata yang ke mana-mana selalu membawa susu fermentasi kemasan sekali minum itu, Devda. “Nggak apa-apa, kok.” Dia menatap mata ketiga temannya sekarang. “Mungkin karena belum terbiasa aja. Jadi aneh rasanya ..., tinggal sama Papa. Asing.”
Vida mengangguk. “Pasti, sih, kalau itu. Tapi nanti juga lo akan terbiasa, kok.”
“Oh iya, lo pindahan nggak bilang-bilang,” ujar Devda.
“Gue cuma bawa baju. Nggak ribet.”
“Agfa ... nganter lo?” tanya Dasha dengan suara hati-hati.
Salena menggeleng cepat. “Nggak. Beneran cuma gue dan Mama.” Tapi kemarin dia datang setelah Mama memberi tahu alamat rumah Papa, kemudian pulang buru-buru tanpa alasan, dan seharian ini menghindar.
“Lain kali kita main ke sana boleh, kan?” tanya Vida bertepuk tangan pelan.
Salena mengangguk.
“Ya udah, kalau gitu kita ke ruang mading dulu, ya. Ketemu di kelas!” Vida menarik tangan Dasha lalu mereka melambaikan tangan bersama, meninggalkan Salena dan Devda berdua.
“Dev?” Salena menatap Devda yang sudah mengeluarkan botol susu fermentasi dari saku celana dan menyedotnya, mengangsurkan kacamata, lalu menatapnya. “Pulang sekolah nanti bisa anter gue nggak?”
Devda mengerjap, lalu mengangguk tanpa melepas sedotan kecil di bibirnya.
“Lo tahu Arghi nggak? Anak XI IIS 4?”
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE (Titik Teduh) [Sudah Terbit]
Teen Fiction[Novel Titik Teduh berubah judul menjadi Once. Sudah terbit serta beredar di Gramedia dan toko buku] Di hari ulang tahunnya yang ke-17, Salena meminta pada Mama untuk bisa tinggal bersama Papa. Hak asuh yang didapatkan oleh Mama ketika tujuh tahun l...