Titik Teduh #8

10.1K 1.5K 246
                                    

Agfa melirik pintu kamarnya yang terbuka. Saat melihat Agra sedang memegang gagang pintu sembari berdiri di sana, dia segera mengalihkan kembali tatapannya pada buku-buku yang sedang dimasukkannya ke dalam tas.

“A ... fa.” Agra menggelindingkan bola plastik berwarna merah muda ke dalam kamar.

Agfa menarik ritsleting tas dengan kencang, lalu melirik bola yang menggelinding di samping kakinya. “Apa yang lo harapkan dari gue? Ngajak lo main?” tanyanya seraya menggantungkan tali tas punggungnya di pundak.

“Ma ... in,” gumam Agra seraya bergerak masuk, menyeret kakinya ke dalam kamar.

Agfa mendecih, dia membungkuk untuk mengambil bola milik Agra. “Main?” tanyanya. Kini langkahnya menghampiri Agra.

Agra menyengir, bertepuk tangan. Ketika melihat Agfa mengambil bola dan berjalan ke arahnya, tangan Agra terulur untuk menerima bola.

Agfa berdiri di depan kakak laki-lakinya itu, memperlihatkan bola plastik berwarna merah muda di tangannya. “Lo mau gue ajak main?” tanyanya. “Capek gue, sejak kecil ngajak lo main terus.” Dia melemparkan bola itu ke wajah Agra.

Agra mengerjap, kaget. Kemudian tatapan mereka bergerak mengikuti arah bola yang menggelinding ke kolong tempat tidur.

“Ambil, sana,” perintah Agfa.

Agra mengangguk, lalu bergerak pelan untuk sampai di samping tempat tidur. Dia berjongkok untuk melihat bola yang berada jauh dari jangkauannya.

Agfa mendecih melihat gerakan pelan itu, dia kembali menghampiri Agra, hanya untuk menginjak punggung tangannya.

Agra menjerit, kemudian mengusap punggung tangan kirinya ketika Agfa sudah melepaskan injakan, lalu menangis.

Agfa ikut berjongkok, menatap Agra tajam. “Nangis? Cengeng.” Dia menarik rahang Agra dengan satu tangan. “Lagi pula, cowok nggak ada yang main bola warna pink. Ngerti?” Dia mendorong rahang Agra.

“Agra? Kenapa?” Ibu berteriak dari lantai bawah.

Agfa segera keluar dari kamarnya, berpapasan dengan ibu yang sedang menaiki anak tangga. “Dia di kamar, bolanya jatuh ke kolong tempat tidur dan nggak bisa ngambil.”

Ibu menghela napas lega. “Ibu pikir kenapa,” gumamnya. “Mau ke mana, Nak?” tanya Ibu ketika Agfa terus bergerak turun.

“Belajar. Di luar.” Dia belum punya rencana akan belajar di mana, entah di perpustakaan daerah atau di kafe yang menyediakan tempat nyaman untuk membaca, yang jelas tidak di rumah.

“Fa?” Ibu kembali memanggilnya saat Agfa sudah berada di lantai dasar.

Agfa menghentikan langkah.

“Mbak Riska nanyain kamu terus. Katanya kangen, mau ngobrol.”

Agfa membuang napas berat, lalu menatap ibunya yang sudah berada di ujung tangga. “Terapi?” Setahunya, Mbak Riska adalah psikolog yang dikenalkan orangtuanya dua tahun lalu, dia sempat mengobrol dengan Mbak Riska tiga kali pertemuan, dan enggan kembali bertemu ketika mengetahui bahwa obrolan mereka bertujuan untuk menyembuhkannya. Menyembuhkan apa? Memangnya dia sakit apa?

“Fa, Ibu mau—”

“Ibu mau aku kayak Agra? Yang kalau nurut untuk terapi akan dikasih hadiah lolipop besar dan memakannya dengan penuh air liur?”

“Agfa!”

“Ya?” Agfa mengangkat dua alisnya. “Aku pergi, Bu,” ujarnya saat melihat Ibu hanya diam saja. Dia melangkah menuju pintu ke luar dengan gerakan tergesa, tidak sabar menghirup udara di luar yang mungkin tidak akan membuatnya sesak, seperti di rumah.

ONCE (Titik Teduh) [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang