Titik Teduh #11

10.8K 1.7K 544
                                    

Vida Andara : Gue lihat lo turun dari motor Arghi. Serius? Harus Arghi Antasena, Si Remah-remah Dewa Siwa itu? Lo mau mengkhianati gue?

Salena tertawa dalam hati saat membaca pesan dari Vida. Teman sebangkunya itu tidak sabar membicarakan apa yang telah dilihatnya sampai harus mengirim pesan daripada menunggunya tiba di kelas.

“Arghi? Ya Tuhan, lo serius?” Vida menyambutnya di pintu kelas, menarik tangan Salena dan segera mengajaknya duduk di bangku paling depan, bangku mereka.

Bahkan Salena belum sempat menaruh tas  saat Dasha yang duduk tepat di belakangnya bertanya, “Lo nggak lagi dalam bahaya, kan?”

Devda yang sejak tadi duduk di samping Dasha hanya mendengkus. “Kalian mikir kalau Arghi dan teman-temannya itu komplotan mafia?” Dia menusukkan sedotan ke dalam kemasan susu kotak, meminumnya dalam keadaan dipelototi oleh Vida dan Dasha.

“Ada yang nggak beres. Lo diem-diem ngajak Devda nyamperin Arghi ke rumah Osa. Terus minta pamflet ini dipasang di mading, padahal  lo tahu banget gara-gara pamflet ini  kunci mading rusak.” Vida memberikan pamflet berisi jasa gambar Mahesa Ardiyas. “Dan, pagi ini lo berangkat bareng Arghi.”

“Ini udah lebih dari seminggu lo tempel di mading?” tanya Salena seraya meraih kertas pamflet yang agak lecek itu.

“Lebih. Lebih dari seminggu. Sesuai permintaan lo,” jawab Vida.

Salena mengangguk. “Makasih.”

“Oke, kembali ke topik pembicaraan kita tadi,” sela Dasha. “Lo diancam Arghi?”

“Lo nggak lagi berada dalam ancaman, kan? Atau ada perjanjian antara lo dan dia, yang bikin lo harus memenuhi semua permintaan dia?” racau Vida.

Salena menatap ketiga temannya. “Gue butuh lo bertiga tenang untuk ngasih penjelasan.”

Vida berdeham. “Oke. Sori.”

“Nggak ada apa-apa. Gue nggak dalam bahaya atau perjanjian apa pun,” jelas Salena.

“Maklum, Vida lagi suka banget sama salah satu cerita wattpad yang nyeritain kalau tokoh utama cewek terjebak dalam satu perjanjian sama salah satu bad boy sekolah dan terpaksa ngikutin semua kemauan si cowok, termasuk jadi ceweknya.” Devda menarik napas setelah mengungkapkan penjelasan panjang barusan.

Vida menarik kacamata Devda. “Berisik! Nggak ada hubungannya.”

Devda hanya berdecak seraya meraih kembali kacamatanya.

“Gue sangat tahu kalau lo nggak akan berteman sama orang-orang nyebelin macam dia. Lo nggak ingat gue kesel banget sama dia karena berhasil ngebobol kunci mading?” tanya Vida. Dari ekspresinya, dia kelihatan masih menyimpan dendam.

“Itu karena lo nggak ngizinin mereka pasang pamflet  di mading,” jawab Salena.

Vida melongo sebentar. “Bahkan lo sekarang ngebelain dia.”

Salena mengernyit. “Nggak, Vid. Bukan maksudnya kayak gitu.”

“Gue perlu penjelasan tentang lo berangkat bareng Arghi,” sela Dasha lagi.

“Dia tetangga gue sekarang. Rumahnya tepat di samping rumah Papa,” jelas Salena. “Pagi ini gue terlambat—gara-gara Papa, dan nggak punya pilihan lain untuk berangkat ke sekolah selain nebeng motornya.”

“Bahkan setahu gue, bertahun-tahun lo tetanggaan sama Agfa, lo nggak pernah berangkat bareng.” Dasha menggeleng heran. “Apa pun alasannya.”

“Karena Papa pikir Arghi anak yang sangat baik seperti yang sering dia dengar dari cerita ibunya,” jawab Salena. “Gue rasa ini ada campur tangan Papa.” Dan Pasti. “Udah, deh. Kalau ada masala apa-apa, gue juga pasti ngasih tahu. Dan sejauh ini, semuanya baik-baik aja. Nggak ada yang perlu dikhawatirin dari Arghi. Oke?”

ONCE (Titik Teduh) [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang