Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Namun, karena Arghi memiliki janji dengan Salena di ruang KIR, dia tidak bisa pulang begitu saja. Arghi memenuhi janjinya untuk menemui Salena di ditemani ketiga temannya. Teman-temannya menunggu di luar ruangan, sementara Arghi masuk sendirian menemui Salena.
Ketika masuk, Arghi mendengar percakapan para anggota KIR yang asing di telinganya. Seperti, "Itu masuk ke Bab Dinamika Rotasi dan Kesetimbangan Benda Tegar, sih kalau menurut gue." Atau, "Cacing pita itu punya sifat endoparasit dalam saluran vertebrata." Atau, "Dari persamaan garis lurus ini lo harus cari dulu gradiennya dan titik mana yag dilaluinya." Atau percakapan yang lebih menakjubkan seperti, "Nilai matematika gue cuma sembilan puluh. Kecil, kan? Bisa-bisa gue kena omel, nih."
"Jadi, ini bahan-bahan yang harus kita cari," ujar Salena seraya menyerahkan beberapa lembar kertas pada Arghi.
Arghi mengangguk. "Sekarang jadi ke Jatinegara?" tanyanya. Setahunya, di sana banyak penjual barang elektronik bekas yang bisa menjadi pembahasan di karya tulis yang sedang mereka kerjakan.
"Lo nggak ada acara memangnya?" Salena balik bertanya.
"Ada," jawabnya. "Sama lo, kan."
Salena mendelik. "Ya udah, kalau gitu lo tunggu di rumah Osa aja. Gue masih ada yang harus dikerjain. Nanti gue nyusul ke sana."
Arghi mengangguk. "Ok. Sampai ketemu, ya." Dia melangkah ke luar sembari membuka-buka lembaran kertas di tangannya.
Di luar, ketiga teman Arghi masih menunggu. Gelar yang pertama berkomentar, "Si anjing, nilai matematika sembilan puluh dibilang jelek," gumamnya, mengomentari percakapan para anggota KIR di dalam ruangan tadi. "Pengin banget gue teriak di samping telinganya. Kalau menurut lo kecil, zoom aja biar kelihatan gede, bego."
Nevan menambahkan. "Padahal, kalau nilai matematika gue dapet sembilan puluh, emak gue OTW syukuran, numpeng. Ngundang ondel-ondel tiga hari tiga malem."
"Standar tiap orang kan beda-beda" ujar Diyas, dia memimpin di depan, berjalan dengan Arghi, sementara Gelar dan Nevan mengikuti di belakang.
"Tapi nggak segitunya juga kali." Gelar masih belum terima.
"Kenapa sih, Ler? Lo yang sewot," gumam Arghi.
"Lo jangan kelamaan gaul sama orang-orang kayak gitu, Ghi. Serem gue," Nevan bergidik, ngeri.
"Yaelah." Arghi menepuk kening Nevan dengan kertas di tangannya.
"Jadi sekarang lo mau pergi sama Salena?" tanya Diyas.
Arghi mengangguk. "Setelah gue disidang emaknya tempo hari di rumahnya, sekarang gue udah diizinin bawa dia pergi."
Gelar tertawa. "Grogi nggak lo waktu disidang?"
"Ya gila aja kalau nggak grogi. Kalah sidang Jessica-Mirna, mah." Arghi membayangkan lagi hari itu. "Gila, mendadak salah tingkah gue. Mendadak gatel sebadan-badan, pengin garuk sana-sini."
"Untung nggak sampe ke biji-biji ya gatelnya." Nevan tergelak.
"Goblok! Gue bayangin lagi." Gelar ikut tertawa, disusul Diyas.
Diyas meredakan tawanya. "Jadi sekarang mau ke mana nih kita?"
"Yah, padahal tadinya gue mau ngajak ke Markas IIS, mau traktir nih gue." Nevan menyelip di antara Arghi dan Diyas, lalu merangkul keduanya. "Gue sama Tasha udah jadian, dong. Keren nggak?"
Gelar yang masih berada di belakang menoyor kepala Nevan. "Tolong kali ini yang lamaan dikit, ye."
Nevan tertawa. "Santai. Kali ini gue mainnya bakal lebih hati-hati." Dia memimpin di depan, berjalan mundur menghadap ketiga temannya. "Selagi Tasha ekskul, gue nganter Riri pulang dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE (Titik Teduh) [Sudah Terbit]
Teen Fiction[Novel Titik Teduh berubah judul menjadi Once. Sudah terbit serta beredar di Gramedia dan toko buku] Di hari ulang tahunnya yang ke-17, Salena meminta pada Mama untuk bisa tinggal bersama Papa. Hak asuh yang didapatkan oleh Mama ketika tujuh tahun l...