Hari Minggu Agfa tidak ke luar rumah seperti biasanya. Dia sedang memainkan cangkir berisi teh yang sudah tidak lagi hangat. Dia menunggu di meja makan. Ibu dan Ayah sedang berada di dalam kamar Agra bersama Om Sandy-beliau adalah adik Ayah yang berprofesi sebagai dokter.
Agfa tidak tahu topik apa yang sedang mereka bahas di dalam sampai menghabiskan waktu hampir dua jam lamanya. Semalam, Agra demam-Ibu bilang. Siang ini dia muntah-muntah, menangis, dan berteriak histeris. Agfa tidak melihat keadaan Agra, dia mendengar suara-suara itu dari kamarnya.
Ibu terus menangis, sementara Ayah menelepon Om Sandy dan menceritakan kronologinya dengan suara panik. Dan Agfa bingung kenapa mereka selalu panik setiap kali Agra menangis dan berteriak histeris. Bukankah nyaris setiap hari Agra melakukannya?
Agfa memutar-mutar bibir cangkir. Sesaat setelah itu, samar-samar dia mendengar suara Ayah. Dia menoleh, melihat Ayah dan Om Sandy sedang menuruni anak tangga sembari terus mengobrol, sementara Ibu membuntuti di belakang sambil mengusap sudut matanya dengan tisu.
Agfa kembali bersabar, dia berbalik dan menatap lagi cangkir tehnya. Menunggu.
Saat melirik jam tangan, dia sadar bahwa sudah dua jam lebih dia menunggu. Padahal hanya untuk mengatakan bahwa besok ada wawancara dari Dinas Pendidikan untuk siswa berprestasi yang mengharuskan salah satu orangtuanya turut hadir.
Agfa melirik jam tangannya lagi. Berkali-kali. Dia melihat Ayah dan Om Sandy masih mengobrol, sementara Ibu masih menjadi pendengar yang baik sambil sesekali mengusap sudut mata.
Tiga jam berlalu. Dia masih menunggu. Ternyata, sabar tidak semudah itu. Agfa bangkit dari kursi seraya menggeser kencang cangkir teh sampai jatuh ke lantai. Hal itu berhasil membuat kedua orangtuanya dan Om Sandy mengalihkan perhatian padanya.
"Ya ampun, Nak! Kamu nggak apa-apa?" Ibu menghampiri Agfa dengan wajah panik. "Diam. Diam," ujarnya. "Kalau kamu bergerak nanti belingnya terinjak, kaki kamu berdarah."
Agfa menatap ibunya yang sekarang berteriak-teriak memanggil Mbak Sum yang sedang berada di dapur. "Aku nggak sengaja," gumam Agfa.
Ibu mengangguk cepat. "Nggak apa-apa. Nggak apa-apa," balas Ibu seraya mengusap pundak Agfa.
Apakah Agfa harus lebih sering menghancurkan benda, berteriak kasar, mengumpat, seperti yang dilakukan Agra, agar lebih cepat mendapat perhatian?
"Yang bersih ya, Mbak. Agra sering jalan-jalan di situ soalnya," pinta Ayah ketika melihat Mbak Sum membawa sapu dan pengki. Dalam keadaan apa pun, Agra selalu diingat, dan mungkin saja selalu jadi prioritas.
Ibu menarik Agfa menjauh dari pecahan cangkir dengan hati-hati. Lalu, saat Agfa sudah membuka mulutnya untuk berbicara, Om Sandy menghampiri Ibu dan memberikan selembar kertas. "Ini jadwal tesnya. Mbak yang antar Agra besok, kan?" tanyanya.
Ibu mengangguk. "Iya, Mbak yang antar Agra ke rumah sakit besok."
"Selain tes darah, akan ada tes-tes lain. Dari mulai CT Scan sampai PCR." Om Sandy tersenyum. "Siapkan fisik Mbak untuk besok, ya. Istirahat yang cukup hari ini."Ibu mengangguk seraya menatap kertas di tangannya.
Agfa mundur satu langkah, sangat perlahan. Selanjutnya dia berbalik dan melangkah ke luar rumah. Selama tiga jam, dia hanya membuang-buang waktu, menunggu untuk berbicara. Lain kali, dia tidak akan lagi melakukannya. Jelas, seharusnya dia tahu bahwa seluruh waktu Ayah dan Ibu bukan miliknya.
Ayah sibuk dengan pekerjaannya. Dan Ibu selalu memusatkan semua yang dimilikinya pada Agra. Agfa seharusnya tidak berharap lebih. Jangan lagi berharap dan bertindak lebih tolol dari yang baru saja dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE (Titik Teduh) [Sudah Terbit]
Teen Fiction[Novel Titik Teduh berubah judul menjadi Once. Sudah terbit serta beredar di Gramedia dan toko buku] Di hari ulang tahunnya yang ke-17, Salena meminta pada Mama untuk bisa tinggal bersama Papa. Hak asuh yang didapatkan oleh Mama ketika tujuh tahun l...