Titik Teduh #10

10.9K 1.6K 440
                                    

Arghi sudah ke luar rumah, memakai seragam dan siap berangkat ke sekolah ketika waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Dia melewati pagar rumah dan melongok ke halaman rumah Om Btara. "Pagi, Om." Arghi menyapa Om Btara yang sepertinya baru bangun tidur dan ke luar rumah untuk menikmati udara pagi.

"Pagi, Ghi." Dia mengerutkan kening melihat Arghi memasuki pekarangan rumahnya. "Masih pagi ini, tapi udah siap ke sekolah."

Arghi mengangguk, lalu melirik ke arah pintu rumah yang sedikit terbuka. "Iya. Takut kesiangan, Om."

Om Btara tertawa. "Good boy!" pujinya.

Arghi melirik lagi ke arah pintu rumah, namun suara Om Btara mengalihkan perhatiannya.

"Ghi?"

"Ya, Om?" Arghi menatap Om Btara.

"Terima kasih, ya," ujarnya tiba-tiba.

"Ya?" Arghi memiringkan wajah, tidak mengerti. "Kenapa?" Maksudnya, untuk apa?

"Om melihat senyum Lele pertama kali siang itu," ujar Om Btara dengan penjelasan yang masih belum Arghi mengerti. "Saat dia membuka paket dari kamu. Dia tersenyum." Om Btara ikut tersenyum ketika mengatakannya. "Nggak lebih dari satu detik, sangat singkat. Tidak lebar, tipis saja. Tapi Om tahu bahwa itu senyum yang tulus. Karena sebelumnya, dia nggak pernah memberikan senyum itu untuk Om."

Arghi tersenyum, juga sedikit meringis. Bingung dengan tanggapan yang harus dia berikan. Entah apa yang mendorong Arghi untuk mendekati Salena. Mereka pertama kali bermasalah karena pamflet jasa gambar Diyas. Setelah itu, dia tahu bahwa Salena adalah teman dekat Agfa, agak menarik. Alasan lain, Bunda menyuruhnya mendekati Salena, suruhan yang disamarkan dengan 'mengantarkan makanan untuk tetangga baru'.

Suatu hari, Om Btara pernah bertemu dengan Bunda di pekarangan dan menitipkan Salena selagi beliau kerja. Menceritakan sedikit tentang anak perempuannya yang sedikit tertutup.

Banyak alasan yang membuat Arghi bisa mengenal Salena, tapi tidak ada satu pun dari alasan tersebut yang menjadi dasar baginya untuk terdorong mendekati Salena. Bukan karena Diyas. Agfa pernah menjadi satu alasan yang menarik untuk mendekati Salena, tapi sekarang tidak semernarik itu. Bunda yang memaksanya berteman dengan anak pintar—Salena adalah pilihan yang tepat, tapi dia cukup bisa mengatasi masalah akademik di sekolah, nilainya masih wajar dan sesekali mendapatkan remidial, jadi alasan untuk mendekati anak pintar agar dia ketularan juga bukan alasan yang tepat.

"Om harap, kalian bisa berteman baik." Om Btara tersenyum lagi.

Arghi tidak tahu mengapa Om Btara sangat terlihat bahagia bisa melihat senyum Salena dan belum pernah mendapatkan senyum itu sebelumnya. Masalah di antara mereka, mungkin sekarang belum boleh menjadi urusannya.

"Om sedang menjadi ayah yang baik. Agar mendapatkan senyumnya."

Ah, ya. Mungkin saja itu juga menjadi alasan untuknya. Arghi ketagihan melihat Salena tersenyum menatap kotak berisi lampu tidur pemberiannya. Walaupun bukan tersenyum padanya. Sejak saat itu, Arghi agak yakin Salena bisa lebih sering tersenyum. Dan dia penasaran dengan keyakinannya. "Kalau gitu, restuin Arghi, Om," pinta Arghi.

"Ya?" Om Btara bingung.

Arghi menyengir, setengah meringis melihat wajah Om Btara. "Arghi nggak akan macam-macam." Dia berdeham. "Arghi minta tolong pagi ini sama Om, boleh?"

Om Btara tampak berpikir.

***

Salena melirik jam tangan, menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Seperti biasa. Waktu menunjukkan sudah hampir setengah tujuh dan Papa melarangnya memesan ojek online. Dia tidak berharap akan diantarkan ke sekolah, tapi melihat jam sudah menunjukkan waktu yang sangat mepet, dia berharap Papa punya solusi untuk ini.

ONCE (Titik Teduh) [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang