Adnan membuka lembaran kertas di tangannya, lalu menoleh pada Salena yang berjalan di sampingnya. “Judulnya mungkin harus lebih spesifik lagi. Iya nggak, sih?” Adnan memberikan kertas itu pada Salena. “Pulang sekolah kita diskusiin lagi.” Dia adalah ketua dari Ekstrakurikuler KIR di sekolah.
Salena mengangguk. “Kalau mau tetap ambil tema daur ulang sampah, kita harus tentukan jenis sampahnya dan maanfaatnya untuk apa.”
“Setelah itu kita baru bisa bikin rumusan masalah. Juga cari narasumber yang terpercaya.” Adnan membenarkan letak kacamatanya. “Oke. Pulang sekolah, ya. Nanti gue share di grup KIR.”
Salena mengangguk. “Oke.”
“Oh, iya, Le. Tentang ....” Adnan berdeham. “Ada yang gue titipin ke Agfa.”
“Apa?” tanya Salena. “Buku sumber?”
“Itu. Emm.” Adnan mengangguk ragu. “Nggak, nggak. Ya udah, gue ke kelas, ya.”
Salena sedikit mengernyit, agak bingung melihat tingkah Adnan barusan. Setelah Adnan menjauh, dia kembali memperhatikan kertas di tangannya—yang merupakan kerangka dari karya ilmiah yang sedang mereka susun. Saat langkahnya akan berbelok memasuki koridor kelas X, ada sebuah dorongan kencang dari arah depan, tangannya yang sedang memegang kertas terdorong, membuat kertas itu berhamburan di lantai.
“Jangan tahan gue!” Bentakan itu Salena dengar dari seorang siswi yang baru saja menabraknya, tidak ada permintaan maaf dari tingkahnya barusan terhadap Salena.
Salena berjongkok, memunguti kertas miliknya yang tercecer di lantai. Selanjutnya, dia harus menyaksikan adegan drama di depannya.
“Win, dengerin gue. Bisa nggak?” Seorang siswa, yang sepertinya Salena kenal, menahan tangan siswi tadi. Dia Arghi.
***
“Maaf,” ujar Arghi pada Winda yang berdiri di depannya, di koridor kelas X.
Wajah Winda memerah. “Jadi, kita putus?”
Arghi mengangguk. “Iya.”
Winda mendecih. “Gue butuh penjelasan. Salah gue apa?” Dia melotot. “Ini pasti gara-gara Riri, kan? Gue lihat chat-nya dia kemarin.”
Suara Winda yang agak nyaring membuat Arghi menggerak-gerakkan telapak tangannya ke bawah, melirik para siswa dan siswi di koridor yang mulai memperhatikan mereka. “Jangan keras-keras, jadi tontonan kita.”
“Nggak peduli gue!” Winda menepis tangan Arghi.
“Jiji!” Itu teriakan Sura. Dia datang di waktu yang tidak tepat.
“Sura, gue lagi ada urusan,” ujar Arghi ketika Sura menggelendot di tangannya.
Sura menyerahkan sebuah kotak pensil pada Arghi. “Pensilnya udah aku serut semua. Hari ini kamu ada pelajaran matematika, kan?”
“Sura, nggak sekarang. Please.” Arghi mendorong tangan Sura pelan.
“Pokoknya gue harus dengar langsung,” ujar Winda. “Gue butuh penjelasan. Oke, setiap cewek butuh penjelasan saat diputusin.” Winda melangkah menjauh.
“Nggak, nggak sekarang katanya.” Arghi mengejar Winda dan meninggalkan Sura.
Winda tidak mendengarkan Arghi, bahkan berkali-kali mendorong dada Arghi saat cowok itu mencoba menghalangi langkahnya. Sampai akhirnya, dia berbelok di ujung koridor kelas X dan menabrak seseorang.
“Jangan tahan gue!” bentak Winda seraya menepis tangan Arghi yang masih berusaha menahannya.
Arghi mendengus, melihat siswi yang ditabrak Winda sekarang sedang kesulitan memungut ceceran kertas di lantai. Saat akan membantu memungut kertas, dia melihat Winda berjalan lagi. “Win, dengerin gue. Bisa nggak?” ujarnya seraya memegang tangan Winda.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE (Titik Teduh) [Sudah Terbit]
Teen Fiction[Novel Titik Teduh berubah judul menjadi Once. Sudah terbit serta beredar di Gramedia dan toko buku] Di hari ulang tahunnya yang ke-17, Salena meminta pada Mama untuk bisa tinggal bersama Papa. Hak asuh yang didapatkan oleh Mama ketika tujuh tahun l...