Salena menuruni anak tangga dengan cepat sambil membenarkan tali tas punggungnya. Di ujung tangga, dia melihat Papa tertidur di sofa ruang tengah dengan lampu dan televisi yang menyala. Salena menggeleng heran, dengan jaket dan celana jeans yang dikenakannya saat berangkat kerja, juga sepatu yang tidak dibuka, Papa bisa tidur senyenyak itu. Seingatnya, Papa baru pulang pukul tiga pagi karena dia terbangun saat deru mesin mobil Papa terdengar memasuki garasi.
Salena mematikan lampu ruang tengah dan meraih remote untuk mematikan televisi. Langkahnya kembali terayun ke dapur, meraih gelas dan sekotak susu dari dalam lemari es. Setelah itu ia bergerak ke meja makan untuk mengambil selehai roti tawar dari kotak yang berada di tengah meja. Dia sudah mulai terbiasa dengan sarapan semacam ini: roti tawar tanpa selai dan segelas susu UHT.
“Mau berangkat, Le?”
Salena tersedak, kaget mendengar suara itu. Dia menuang susu ke gelas dan meminumnya sambil melihat Papa yang kini berjalan ke arahnya dengan rambut berantakan.
Papa menguap lebar-lebar. “Mau Papa antar?” Wajahnya kelihatan sekali masih sangat mengantuk, pakaian yang dikenakannya untuk tidur semalaman terlihat sangat lusuh.
Salena membersihkan mulut dengan punggung tangan karena kotak tisu di tengah meja kosong. “Nggak usah.”
“Papa antar, ya?” Sekarang suara itu tidak lagi terdengar sebagai penawaran, tetapi permintaan.
Salena memperhatikan penampilan Papa.
Papa bergegas menuju wastafel, mencuci muka dan membasahi rambutnya. “I’m ready to start the day,” ujarnya semangat seraya mengusap wajah dengan ujung jaket dan menyisir rambut dengan jemari, membuktikan pada Salena bahwa dia sudah tidak mengantuk.
“Aku udah pesan ojek online,” tolak Salena seraya memperlihatkan layar ponselnya.
“Bisa di-cancel.” Papa meraih kunci mobil dari sofa di ruang televisi. “Yuk.” Kemudian menarik tangan Salena.
***
Salena sudah berada di dalam mobil, mengenakan seatbelt, menatap lurus-lurus ke depan, dan ini pertama kali baginya—diantar ke sekolah oleh Papa, tentu setelah tujuh tahun berlalu.
“Gimana di sekolah?” tanya Papa.
“Biasa aja.”
“Papa dengar dari Mama, kamu jadi anggota KIR. Dan katanya karya ilmiah sekolah kamu pernah menjuarai lomba, ya?” Papa bertepuk tangan singkat. “Kamu suka dengan karya-karya ilmiah seperti itu, ya?”
“Biasa aja.” Salena memalingkan tatapannya ke kiri sekarang, menatap pemandangan di luar jendela.
“Nggak mungkin kamu menjadi anggota KIR kalau nggak tertarik akan hal itu.”
“Ada hal lain yang harus aku lakukan, untuk menghilangkan rasa bosan pada hal-hal yang harus aku lakukan setiap harinya.” Seperti alasan Papa saat itu ketika menghadirkan wanita lain dalam kehidupan mereka.
Papa terkekeh, lalu surut dengan nada sumbang. “Iya. Ya,” gumamnya. “Sudah punya tujuan nanti akan kuliah ke mana?” tanya Papa lagi, mengganti topik pembicaraan.
Salena menggeleng. “Belum.”
“Kenapa?”
Salena hanya membuang napas berat.
“Lele, setiap orang harus punya rencana untuk hal itu.”
Salena menoleh, menatap Papa.
“Setiap orang berhak punya impian,” ujar Papa lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONCE (Titik Teduh) [Sudah Terbit]
Teen Fiction[Novel Titik Teduh berubah judul menjadi Once. Sudah terbit serta beredar di Gramedia dan toko buku] Di hari ulang tahunnya yang ke-17, Salena meminta pada Mama untuk bisa tinggal bersama Papa. Hak asuh yang didapatkan oleh Mama ketika tujuh tahun l...