Deru ombak hampir selalu terdengar. Derik kayu pintu dan dinding beradu dengan denting peralatan masak. Gadis itu bangun pagi-pagi lalu mengambil dua ikan dari kolam kecil mereka di luar. Tidak lama kemudian, dia telah siap dengan ikan panggang serta semangkuk sup panas.
"Mau tidur sampai kapan?" Caral—gadis itu—berseru sambil menata piring. "Cepat keluar sebelum supnya jadi dingin! Kulitku bahkan masih merinding biar di depan api."
Keluar seorang pria tua dari kamar yang punya pintu yang reyot. Rambut panjang putihnya terurai berantakan. Cambang lebat makin membuat tampilannya amburadul. Dia menguap lebar, lalu dengan mata berair, duduk menghadap meja makan. Caral masih sibuk membereskan perkakas saat pria itu memicingkan mata melihatnya.
"Kau memancing ikan sendiri?" tanya Yehu melihat ikan panggang di piring.
"Kau yang menangkapnya semalam," jawab Caral setelah duduk di seberang sang ayah.
"Masa?"
"Aku pulang larut semalam. Toko menerima banyak pesanan kue dan mereka menyuruhku lembur. Oh, dan jangan lupa kirim ikan yang paling besar ke Posca, ayah. Dia akan menjualnya ke pasar. Kita mungkin bisa dapat tiga dinar. Belakangan harga sayur mahal. Kita cuma bisa membeli daun-daun kering."
Kerut Yehu bertambah. Terlalu banyak instruksi yang diberikan anak gadisnya.
"Jangan khawatir, aku sudah minta Posca mengingatkanmu." Caral menatapnya maklum. "Habiskan itu supaya piringnya kubereskan, dan aku bisa langsung berangkat kerja."
Yehu tidak berkomentar. Masing-masing mereka sibuk melahap sarapan pagi ini. Semakin usianya bertambah, Yehu menjadi pelupa. Saking pelupanya, dia pernah tersesat di laut lepas. Caral khawatir setengah mati, lalu meminta—lebih tepatnya mengancam—nelayan lain untuk membantunya mencari Yehu. Sejak saat itu Caral melarangnya melaut seorang diri. Entah apa jadinya bila gadis itu tidak tinggal bersamanya.
Diam-diam Yehu mencuri pandang pada Caral yang beberapa kali menyeruput kuah sup. Tanpa dia sadari, anak itu telah tumbuh besar. Dia seorang perempuan tapi terbiasa melakukan pekerjaan kasar. Namun di balik tampilan lusuhnya, Caral bersinar dengan caranya sendiri. Tanpa tempelan debu, kulitnya serupa gading. Bibirnya merekah penuh di bawah hidungnya yang melengkung sempurna. Manik mata yang Caral miliki adalah biru-abu, sama sekali berbeda dengan mata hijau Yehu. Dia juga punya surai merah burgundy yang berkilau ditimpa cahaya. Sayangnya gadis itu juga enggan menyisir, apalagi sampai berdandan.
"Sudah selesai?" Yehu baru sadar dirinya melamun dan entah sejak kapan Caral menghabiskan sarapannya.
Yehu mengangguk. Caral segera mengambil piring, sendok dan mangkuk mereka ke tempat cuci piring.
"Omong-omong aku juga akan pulang terlambat nanti. Kalau kau lapar, tinggal ambil saja roti gandum di laci bawah." Caral mencium pipi Yehu. Sekejap kemudian gadis itu telah pergi.
***
Piala raksasa dibawa masuk ke istana. Kasak-kusuk mengiringi, apalagi ketika para pria yang menggotong piala tersebut diikuti oleh seseorang berjubah gelap yang mana menutupi hampir seluruh tubuhnya. Para petinggi negeri hadir, berikut Raja dan Permaisuri yang menyaksikan dari balik tirai. Setelah beberapa kali ditunda tanpa alasan yang jelas, akhirnya tiba hari ini.
Hari di mana sang Ahli nujum mendapatkan penglihatan mengenai siapa para gadis yang akan menjadi kandidat permaisuri pangeran.
Kalau boleh memilih, keluarga mana pun termasuk keluarga Raja akan lebih senang pemilihan ini didasarkan pada latar belakang, status, dan rupa sang Gadis. Namun sejak tiga ratus tahun yang lalu, mereka mengandalkan penglihatan ahli nujum. Bila mereka mengabaikan nasihatnya, mereka percaya negeri akan ditimpa malapetaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lady of Perish
FantasyKetika terpilih menjadi calon Ratu maupun seorang permaisuri pangeran, akan ada dua hasil akhir: menjadi Ratu sesungguhnya, atau mati. Tiga kandidat yang disebutkan ahli nujum negeri akan digiring masuk ke labirin Hitam, menuju ke akademi Hintarn un...