IX. Fate

5.7K 792 41
                                    

Setelah melahap tujuh potongan ayam, daging tumbuk, tomat, pir, dan selada, Dashana menuntaskan makan siangnya dengan menandaskan semangkuk sup. Mereka bertiga masih ada di aula makan, meski para siswa lainnya telah pergi sekitar satu jam lalu. Meski memperhatikan Dashana dengan risih, Leah nyatanya betah duduk. Sedangkan Caral, meski duduk menghadap Dashana dan di sebelah Leah, pikirannya sedang berpetualang ke tempat lain.

"Khusus untuk Blanc dan siswa-siswa yang terpilih, mereka akan memperbolehkan kita keluar Hintarn untuk beberapa hari. Jangan tersinggung, Leah. Kau sebaiknya tetap tinggal," ujar Dashana seraya menjilat jari-jarinya yang belepotan saus.

Leah hanya mendengkus lalu memalingkan wajah.

"Kau punya rencana, Caral?" Dashana menoleh pada Caral.

"Ya. Aku akan menemui ayahku."

Caral masih belum tahu di mana Yehu tinggal dan dia tidak bisa sepenuhnya percaya pada Thorell apalagi Gerua. Mustahil mereka akan membuatkannya gubuk yang sama persis. Mungkin saja mereka hanya menginginkan Caral dan Yehu tinggal di tempat lain. Mengingat tabiat ayahnya, Caral yakin Yehu tidak akan terbiasa tinggal di tempat yang megah.

"Aku selalu penasaran seperti apa ayahmu, Caral," kata Dashana lagi. "Di hari pertama kita bertemu, kau memancing keributan gara-gara dia. Kau pasti sangat dekat dengan ayahmu."

Caral hanya diam dan menatap gadis itu.

"Aku sendiri tidak pernah memiliki ikatan seperti itu dengan ayahku. Meski dia meninggal beberapa tahun lalu. Aku mengingatnya sebagai pria yang tidak pernah peduli. Ah, itu juga berlaku untuk ibuku. Semata-mata karena aku keturunan satu-satunya ayahku, untungnya dia tidak pernah mengabaikanku."

Dashana tertawa. Seperti tawa yang tidak mengandung beban. Tapi justru itu yang membuat suasana di antara Leah dan Caral berubah canggung. Keduanya saling berpandangan sekilas sebelum menepikan bekas mangkuk makan mereka.

***

Jalan keluar dari Hintarn bahkan jauh lebih rumit daripada akses masuknya. Untuk mencapai ke sana, mereka harus lebih dulu mendatangi kuil yang sekilas tampak dari luar seperti telah disegel. Kemudian orang-orang Hintarn yang berpakaian seperti cenayang mengucapkan mantera-mantera khusus sehingga mereka bisa menembus ruang yang menyerupai genangan air itu.

Caral merasakan sensasi membekukan saat melewatinya. Meneruskan langkah, tahu-tahu dia sudah berada di tengah-tengah keramaian pasar. Orang-orang yang berlalu lalang sama sekali tidak terlihat terkejut karena seharusnya Caral muncul tiba-tiba.

Puas memandang sekelilingnya, Caral memasang kembali tudung jubah lalu melangkah. Belum juga menapaki langkah ketiga, dia membentur sesuatu dengan dahinya. Sesuatu yang keras dan kokoh. Caral mengaduh lalu mendesis seraya mengusap-usap kening yang berdenyut. Mulanya Caral pikir telah menabrak tiang atau semacamnya. Ternyata dugaannya salah. Gadis itu mendongak dan terpaku.

Kalau saja laki-laki itu tidak tengah memakai jubah dengan tudung yang lebar, bisa dipastikan seisi pasar akan langsung menjadikannya pusat perhatian. Tubuhnya yang jangkung tentu saja memaksa Caral mendongak untuk menatapnya. Dan rupanya dengan cara itulah dia bisa melihat lagi kilau perak pada helaian rambut sang Pangeran.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Caral. Suaranya tidak terdengar jelas di tengah hiruk pikuk pasar. Tapi hanya dengan memperhatikan gerak bibir gadis itu, Galadrim tidak memiliki kesulitan mengartikannya.

Alih-alih menjawab, Galadrim memutar tubuh. Caral sampai tak sadar tangan laki-laki itu mengulur demi meraih pergelangan tangannya. Tidak cukup kuat untuk membuat Caral kesakitan, namun juga tidak bisa dibilang lembut supaya gadis itu bisa melepaskan diri. Dengan langkah yang mantap, Galadrim pun menuntun Caral keluar dari keramaian pasar.

Lady of PerishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang