XX. The Angel of Death

1.3K 307 48
                                    

"Cantik, bukan? Lantana ..."

Perempuan itu tersenyum saat tengah mengusap beberapa helai mawar hitam. Hal pertama yang mampu dia rawat dan tumbuh besar. Tidak seperti rusa putih yang dia cekik hingga mati. Atau pun seekor beluga yang dikeluarkannya dari laut, lantas menggelepar di atas tanah kemudian menjadi bangkai dengan kulit yang mengering. Mawar itu hidup setelah berminggu-minggu mendapatkan tetes air yang dia percikkan sedikit demi sedikit.

"Seperti inikah rasanya ..."

"Mereka akan memberimu seikat penuh mawar bila kau memintanya." Lantana menanggapi datar, tidak mengerti kenapa saudaranya itu tetap bersikukuh memiliki sesuatu untuk dijaga dan dirawat.

Karena sejak awal, perempuan itu hanya bisa merusak dan membunuh segala sesuatu di dekatnya.

Orang-orang di istana lebih takut pada dia yang selalu tersenyum lembut, daripada Lantana yang sedingin es.

"Aku tidak tertarik lagi pada benda yang sudah mati," katanya menanggapi Lantana. "Kita harus menikmati keindahan mereka selama masih hidup ... dan cantik."

Lantana mendengkus. Tangannya kemudian menyilang.

"Apa kau sudah dengar? Aku atau kau, atau bahkan kita berdua akan dikirim ke Allaghur. Pada Raja yang sudah memiliki permaisuri dan putra ... mereka hendak membungkam kita. Kemudian kalau kita menjadi selir yang tersingkir ke kamar paling belakang, mereka akan berpaling."

"Allaghur ...?" Seolah mengingat sesuatu, perempuan itu mendongak ke atas. Langit Lagash saat siang hari hampir selalu berwarna abu-abu. Surainya juga berwarna serupa. Namun iris yang dimilikinya jingga seperti warna bulan darah. "Bukankah itu tempat yang indah, Lantana?"

"Indah katamu?" balas Lantana sinis. "Sebagus apa pun tempat itu nanti, kita tetap akan menjadi buangan. Kecuali ..."

"Ah, Lantana ... Aku terlalu mengenalmu. Harga dirimu akan tetap terjaga bila kau merampas takhta permaisuri yang masih hidup dan sangat sehat."

"Kau menolak menjadi sainganku?"

"Aku menyayangi saudara perempuanku yang tercantik ...," ujarnya lembut dan manis. "Aku tak akan pernah berencana membunuhmu. Kau tetaplah berada di puncak yang bisa kau raih ... sedangkan aku akan memilih jalanku sendiri."

"Jalan apa yang kau inginkan?"

"Bertemu laki-laki yang baik, menikah dengannya, lalu memiliki anak seperti kelinci yang lucu ..."

"Kau konyol sekali."

"Tidak, Lantana." Perempuan itu menoleh padanya. "Aku tidak sedang bercanda.."

***

Walau hanya sepersekian detik, Permaisuri Lantana mampu memutar kembali ingatan itu. Sosok yang sebisa mungkin dia hapuskan. Perempuan yang memilih untuk bersembunyi meskipun teramat mencolok. Perempuan yang menyia-nyiakan status dan kekuatannya hanya untuk mimpi yang dangkal. Perempuan yang ingin menjadi sepercik berkat walaupun seharusnya terlahir menjadi kutukan.

"Aku tak akan pernah berencana membunuhmu."

Caral tidak pernah terbangun dari mimpinya yang panjang. Sesuatu tengah menggerakkan tangan dan kelopak matanya supaya membuka. Cekikan tersebut perlahan melemah.

Permaisuri Lantana beralih melihat bayangan hitam di balik tubuh Caral. Hanya samar-samar, namun dia bisa merasakannya. Bayangan wanita yang tengah tersenyum ringan.

"Apakah kau marah?" tanya Permaisuri—suaranya serupa bisikan. "Kakak ..?"

Bayangan itu perlahan menampakkan wujud aslinya. Seorang wanita dengan sayap hitam dan sepasang tanduk di atas kepala. Matanya mengarah langsung pada Permaisuri Lantana, akan tetapi tidak mengatakan apa pun. Hanya beberapa detik sosoknya diam sebelum akhirnya memudar dan hilang. Sementara tubuh Caral beringsut jatuh tertelungkup—masih tak sadarkan diri.

Lady of PerishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang