Keadaan sempat hening sejenak. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara, sampai Haechan sendiri memberanikan dirinya. "Bagaimana bisa?" tanyanya. Aku menoleh ke arahnya sesaat. Kemudian, aku kembali menatap ke arah langit-langit.
Aku tersenyum miris sambil mengangkat tangan kananku yang dipenuhi lebam. "Yah... tentu saja bisa. Apa yang kedua orang tuaku tidak bisa lakukan? Apalagi perihal kekerasan fisik. Mereka ahlinya." timpalku sedikit bercanda. Tidak. Itu serius. Haechan melirik aneh ke arahku. "Jangan-jangan, orang tuamu membenturkan kepalamu juga, ya?" katanya.
Aku mendengus. "Andaikan kalau itu terjadi, aku pasti senang." kataku menjeda ucapanku. Aku meremas ujung bajuku sembari menahan air mata. "Membenturkan kepalaku sampai aku amnesia. Pasti menyenangkan. Aku jadi tidak perlu mengingat hal-hal yang mengerikan dan melupakannya dalam sekali benturan." lanjutku.
Kedua mataku terpejam. Masih teringat jelas bagaimana mereka memaki, memukul, menampar, menjambak, bahkan menginjakku. Aku tidak melebih-lebihkannya. Perlakuan sadis mereka memang benar adanya dan akulah korbannya. Anak yang tidak diinginkan. Itulah aku.
"Jangan berpikir yang tidak benar... Jangan sampai Tuhan mengabulkan ucapanmu. Aku akan sangat sedih dan marah." katanya sambil mendekatkan tubuhnya ke arahku yang berbaring di sebelahnya. Dia memiringkan tubuhnya dan menumpu kepalanya dengan tangan kirinya. Dia menatapku penuh kasih sayang. Hanya Haechan yang bisa memperlakukanku penuh cinta seperti ini.
"Memang sangat sakit rasanya... Tapi, lebih sakit lagi jika kau yang tiba-tiba menghilang dan tidak kembali. Entah kenapa, rasanya hal itu akan segera terjadi." Aku menatap lekat kedua maniknya. "Kau tidak akan pergi dan menyakitiku seperti yang kedua orang tuaku lakukan, kan?" lanjutku dan dia terdiam. []
KAMU SEDANG MEMBACA
FULL SUN.
Short Storyhaechan, jadikan aku separuh bagianmu. 𝓳𝓲𝓶𝓭𝓸𝓸𝓷𝓰𝓲𝓮, 𝓮𝓼𝓽. '¹⁹