Semuanya putih. Tempat ini asing. Aku berusaha membuka mataku. Donghyuck adalah sosok pertama yang kulihat. "Kau sudah sadar?" tanyanya. Suaraku tidak dapat keluar, lantas aku mengangguk. "Syukurlah." lirihnya. Aku sama sekali tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Terakhir kali, aku masih berbicara dengannya. Namun, tak lama kemudian pandanganku menggelap. Sepertinya aku pingsan.
"Ini sudah hari ke-4 sejak kau pingsan. Aku khawatir kau kenapa-napa." sahut Donghyuck. 4 hari? Selama itukah aku tertidur? "Maaf karena bertanya. Tapi, apa dadamu pernah sesak atau nyeri dalam waktu yang lama? Aku-"
"Pernah." potongku.
Aku menangkap raut kecewa darinya. Ada apa? Setelah itu, dia mengangkat kaki kananku yang membengkak. "Sejak kapan?" tanyanya. "K-kakiku k-kenapa?" Ini aneh. Apa aku sakit? Kupikir selama ini aku hanya kelelahan.
"Kau sakit parah, Yura. Kenapa tidak bilang? Sudah berapa lama? Aku benci melihatmu kesakitan begini." lirihnya sambil mengelus kakiku. "A-aku tidak tahu... Kupikir ini hanya benjol biasa... Aku tidak tahu, Haechan!" Aku jadi panik dan mulai mengacak-acak rambutku sendiri. Setelah ini Donghyuck pasti menjauhiku. Dia pasti jijik. Ini bukan yang kuinginkan. Aku tidak mau sakit seperti ini.
"Kardiomiopati, tahap akhir." sahut Donghyuck
= FULL SUN =
Sinar matahari menerobos paksa penglihatanku. Aku melenguh pelan. Hampir saja aku bangkit dari kasurku. Namun, saat mataku terbuka, aku sadar kalau ini bukan kamarku. Aku teringat percakapanku dengan Donghyuck malam kemarin. Aku sakit. Dan penyakitku sudah sampai di tahap akhir. Aku meringis pelan, untuk apa lagi aku hidup di dunia dengan penyakit sialan ini?
"Yura, sudah bangun?" Donghyuck masuk begitu saja ke dalam ruang inapku tanpa mengetuk pintu. Aku menatapnya sekilas dan tak meresponnya. Dia berjalan mendekat dan duduk di pinggir ranjang. Donghyuck menghela nafasnya sejenak. "Besok kau akan menjalankan serangkaian pengobatan. Aku berdoa semoga Tuhan menyertaimu, Yura. Aku tahu kau pasti sembuh."
Aku berdecih sinis. "Omong kosong."
Dia menoleh dan menatapku tidak suka. "Jangan begitu. Tuhan sudah memberimu nyawa untuk kau jaga. Aku bisa apa lagi kalau ini sudah terjadi? Ini bukan kehendakku, Yura. Kalau bisa memilih, aku maunya kau tidak sakit. Bahkan kalau bisa meminta, aku mau sakit itu dipindah kepadaku. Supaya orang yang kucintai tidak merasa kesakitan lagi."
Aku termenung sejenak. Antara memikirkan kalimat terakhirnya dan merenungi ucapannya yang hampir sepenuhnya benar.
"Kau mencintaiku?"
Dia mengangguk. Jutaan kupu-kupu rasanya bertebangan di dalam perutku. Ini bukan mimpi, kan? Tapi kenapa harus sekarang?
"Sudah sejak lama. Sangat lama, Yura. Hanya saja, waktunya selalu tidak pas. Terkadang aku juga sadar, aku ini tidak pantas untuk gadis cantik, pintar, penurut, dan mandiri sepertimu."
"Kau tahu, Chan?" Dia menoleh dan menatapku lekat. "Kau terlambat. Sepertinya aku akan mati. Cinta kita akan sia-sia dan berujung menyedihkan. Sakitku ini sakit yang umum. Tetapi, kemungkinan untuk aku sembuh sangatlah minim. Kecuali Tuhan sedang berbaik hati dengan mengirimkan seseorang yang rela memberikan jantungnya untukku."
Kini, giliran Donghyuck yang terdiam. Ruangan berubah sunyi dan suasananya juga mulai berubah. Donghyuck benci Yura yang pesimis. Gadis itu harus hidup. Yura harus bertahan demi dirinya. Demi cintanya. Demi cinta mereka berdua.
"Tidak." Dia menggeleng. "Tuhan selalu baik. Kau akan tetap hidup, Yura. Entah bagaimanapun caranya, kau akan tetap hidup. Percayalah. Aku akan menghalalkan segala cara hanya untukmu. Sekalipun aku yang harus berkorban." Setelah itu kami saling terdiam. []
KAMU SEDANG MEMBACA
FULL SUN.
Short Storyhaechan, jadikan aku separuh bagianmu. 𝓳𝓲𝓶𝓭𝓸𝓸𝓷𝓰𝓲𝓮, 𝓮𝓼𝓽. '¹⁹