Aku ingat sekali bagaimana Haechan menjanjikan sebuah kebersamaan. Masih teringat jelas di otakku bagaimana cara dia berbicara 2 tahun yang lalu. "Haechan, aku sangat kesal." Saat itu aku masih anak gadis ingusan yang baru puber. Haechan menatapku khawatir. "Kenapa?" Aku menjawab, "Kenapa kita tidak satu sekolah?! Aku sebal karena kita selalu bertemu sebentar!" balasku sambil melipat tangan di depan dada dan mengerucutkan bibirku. Kekanakkan sih memang. Tetapi, dari sinilah semuanya dimulai.
Haechan terkikik mendengar perkataanku. "Tenang saja. SMA nanti, kupastikan kita satu sekolah." ucapannya membuatku terbang tinggi karena terlalu senang. "Benarkah?!" ujarku semangat. Dia mengangguk. "Iya." Terkadang aku bingung. Apakah usia Haechan sama denganku? Dia dapat berpikir sangat dewasa sewaktu-waktu dia bahkan terlalu kalem untuk anak seumuran dirinya.
Nyatanya, sekalipun kami satu sekolah (sepertinya) aku tetap saja tidak pernah bertemu dengannya selain di kantin. Aku jamin, aku sudah pernah memasuki setiap kelas di sekolahku. Namun, tak pernah sekalipun aku menangkap presensi Haechan. Aku yang aneh, atau dia?
"Berhenti melamun. Kau terlihat menyedihkan." celetuk Jaemin yang lewat di depanku. Aku mendengus. "Berisik. Tahu apa kau." Aku menatapnya sinis dan hendak pergi. "Hei, kau sudah tidak penasaran tentang Haechan?" sahutnya membuat langkahku terhenti. Aku menghela nafas sesaat. Bisa-bisanya dia menyebut nama Haechan di saat aku kesal setengah mati karena tidak tahu apa-apa tentang lelaki itu.
Jaemin tertawa meledek. "Oh ho! Penasaran rupanya." Tanganku terkepal kuat. Sabar Yura. Aku mendesis. "Jangan basa-basi. Aku tidak punya waktu-" Jaemin mendecakkan lidah sambil berkacak pinggang. "Wah sayang sekali... padahal ini sangat penting. Tapi karena kau tidak punya waktu, ya sudah. Tidak ja-"
Mataku melotot sempurna. Dia menyebalkan sekali, sih! "Tidak!! Aku tidak sibuk." potongku. Dia membuat ekspresi terkejut. "Oh ya? Sayangnya aku yang sibuk. Selamat tinggal!" pamitnya membuatku menggeram kesal. "NA JAEMIN!!! BERHENTI DI SITU!" teriakku.
Dia gantian menatapku kesal. Dia berbalik. "Apa sih?!" Aku mengulurkan jari kelingkingku ke arahnya. "Ayo buat perjanjian kalau kau akan memberitahu tentang Haechan besok siang. Di sini. Di jam ini." pintaku. Jaemin merotasikan bola matanya. "Pinky promise? Hei, ini sudah abad ke-21 siapa yang masih melakukan hal kekanakkan seperti ini?" ledek Jaemin sukses membuatku ingin sekali menampar wajah tampannya. Aku menatapnya nyalang dan sepertinya dia ketakutan.
"Ow, okay. Santai saja. Besok kuceritakan. Tapi tidak di sekolah." katanya. "Lalu dimana?" tanyaku. "Ada deh! Besok kita akan having fun!" ucapnya bersemangat. "Dan jangan lupa bawa tisu, ya!" lanjutnya membuatku bingung. "Kenapa?" tanyaku. Dia menjawab, "Rahasia." []
KAMU SEDANG MEMBACA
FULL SUN.
Short Storyhaechan, jadikan aku separuh bagianmu. 𝓳𝓲𝓶𝓭𝓸𝓸𝓷𝓰𝓲𝓮, 𝓮𝓼𝓽. '¹⁹