PRESENT TIME.
"Melamun lagi?"
Jaemin menepuk bahuku beberapa kali membuat lamunanku buyar. Aku menghela nafas panjang saat dia duduk di hadapanku. "Itu apa?" Dia melirik buku yang kuletakkan di atas meja. "Diarymu?" tanyanya.
Aku mengangguk singkat. Sudah 1 tahun sejak kepergiannya. Dan sejauh ini, aku masih tetap merindukannya, bahkan semakin rindu sampai ingin mati rasanya. Sumpah, aku sangat membutuhkannya. Tapi, dia memutuskan untuk meninggalkanku dan membuatku dihantui rasa bersalah karena harus membuatnya berkorban banyak untukku.
"... Aku akan menghalalkan segala cara hanya untukmu. Sekalipun aku yang harus berkorban."
Kalimat yang dulunya kuanggap sebuah lelucon yang terlontar dari mulut manisnya, benar-benar terjadi setelah beberapa bulan. Kesehatanku saat itu semakin memburuk. Dokter sudah menyerah, bahkan meminta Haechan untuk merelakanku. Keluargaku juga sudah tidak berniat membiayai pengobatanku lagi. Membuang uang, begitulah kata mereka yang masih kuingat sampai saat ini.
"Haechan, bolehkah aku memelukmu?" Haechan tertawa sejenak, kemudian mengangguk dan merengkuh tubuhku. Aku terisak dalam pelukannya. "Haechan, ini bukan pelukan yang terakhir, kan?" lirihku.
Haechan terdiam. Dia tidak bersuara. Tidak menggeleng, maupun mengiyakan. Tangisku semakin kencang. "Haechan, jangan pernah berkorban untukku. A-aku tidak akan pernah memaafkanmu kalau sampai suatu hari kau menghilang..."
Tangannya kini bergerak mengelus punggungku. "Aku tidak akan pergi kemanapun, Yura," katanya. "Tapi keputusanku tidak akan berubah. Ini sudah waktunya—"
Aku menggeleng dalam pelukannya. "T-tidak... kau tidak bo—"
Jari telunjuk Haechan bergerak dan berhenti di depan bibirku. "Yura, jangan egois. Kau berhak hidup. Dokter juga sudah menyetujuinya. Orang tuamu pasti setuju dengan keputusanku. Setelah semua ini terjadi, tidak akan ada lagi kesedihan. Aku bisa menjamin, hidupmu akan lebih baik dari sebelumnya."
Tangannya bergerak meraih tangan kananku dan pergerakannya berhenti tepat di depan dadanya. "Kau bisa merasakannya? Jantung ini hanya berdetak untukmu," katanya sambil menatapku lekat.
Aku menggeleng. "Haechan, hentikan ini." Setiap kalimat yang terlontar dari mulutnya hari ini sama sekali tidak membuatku tenang. Aku khawatir sekali. Mau mati rasanya kalau mimpi burukku benar-benar terjadi. Ini bukan saat yang tepat untuk tersenyum malu karena mulut manisnya.
"Yura, kali ini aku akan jujur. Ini tentang perasaanku sebenarnya. Aku tidak akan mengulanginya. Aku mencintaimu, sangat," katanya membuatku mematung.
"K-kau mencintaiku?" tanyaku. Rasanya sangat menyenangkan saat mendengar pengakuannya. Rohku seakan terbang sesaat saking bahagianya. Namun tak lama kemudian, aku sadar. Segala hal yang terjadi hari ini, mungkin adalah yang pertama dan terakhir.
Haechan mengangguk. Dia memajukan wajahnya dan menatapku sebentar. "Aku sangat mencintaimu. Maaf karena aku terlambat menyadarinya."
Hari itu, Haechan menciumku untuk yang pertama kalinya. Setelahnya, kami tidak bersuara lagi. Aku menyesal. Saat itu aku tidak sempat mengaku kalau aku juga mencintainya. Aku sangat ingin berkata kalau aku sudah membalas perasaannya, namun aku memendamnya sendirian karena rasa malu. Kalau saja aku tahu itu adalah pertemuan terakhir kami, mungkin aku tidak akan pernah membiarkannya keluar dari kamarku ataupun membiarkannya mendonorkan jantung untukku.
Surat yang Haechan tulis 1 tahun yang lalu masih kusimpan baik-baik. Tidak pernah kubiarkan orang lain menyentuh ataupun membacanya. Saat aku merasa di titik paling terjenuh, Jaemin datang. Dia merawatku dan banyak membantuku selama kepergian Haechan. Dia tahu aku terpuruk. Dia memperlakukanku seperti sahabatnya. Sayang, mengingat Jaemin membuatku semakin rindu dengan sahabatnya, Haechan. Aku bahkan tidak sempat memanggilnya dengan bahasa yang sopan, padahal dia lebih tua.
Kak Haechan, rasanya ingin mati karena terlalu rindu denganmu.
Yura, kalau kau membaca ini, mungkin aku sudah pergi ke tempat yang jauh. Baik kau dan aku, kita tidak akan bisa lagi saling meraih dan merengkuh satu sama lain.
Ada satu hal yang selalu kuimpikan, yaitu menjadi mataharimu. Apakah aku sudah berhasil? Tidak perlu kau yang berharap untuk menjadi separuh bagianku. Jangan. Kau tidak akan sanggup. Biarlah aku yang menjadi separuh bagianmu.
Kuharap jantungku akan selalu berdetak untuk dirimu dan untuk kebahagiaanmu. Kita mungkin berjauhan, namun rasa cinta itu akan selalu ada di hatiku. Layaknya matahari dengan seisi bumi, seperti itulah kita. Terasa dekat, namun jauh. Kuharap namaku akan selalu terukir di hatimu. Aku mencintaimu, Yura.
With Love, Haechan
KAMU SEDANG MEMBACA
FULL SUN.
Short Storyhaechan, jadikan aku separuh bagianmu. 𝓳𝓲𝓶𝓭𝓸𝓸𝓷𝓰𝓲𝓮, 𝓮𝓼𝓽. '¹⁹