Chapter 1

10.8K 854 117
                                    

Suara gemuruh kembali menggelegar untuk yang kesekian kalinya dan hujan yang sudah diramal akan segera turun akhirnya turun juga. Jam baru menunjukan pukul 1 siang namun langit sudah terlihat sangat gelap. Gun sedang berada di dalam kelas literatur saat ini dan dia sudah sangat bosan menonton film Romeo dan Juliet, ia tidak peduli dengan kisah cinta mereka dan Gun lebih memilih untuk mendengrkan lagu lewat headsetnya sambil menatap hujan dari jendela.

"Atthaphan," panggil gurunya. Namun karena ia memakai headset, ia tidak mendengar gurunya memanggil namanya. "Athhaphan Phunsawat." Panggil gurunya sekali lagi namun ia masih juga tidak bergeming. Teman sebangkunya akhirnya menyentuh lengannya dan membuat Gun menengok ke arahnya.

"Pak guru memanggilmu." Ucap teman sebangkunya. Kali ini Gun menoleh kepada gurunya.

"Kau dipanggil ke ruang kepala sekolah. Ada telepon dari rumah sakit." Kata gurunya.

Rumah sakit? Pikirnya. Gun melepaskan headsetnya dan pergi keluar kelas. Sesampainya dia disana, guru-guru lain menatap simpati ke arahnya, "Atthaphan, ada telepon untukmu." Kata kepala sekolahnya. Ia melangkah kepadanya dan mengambil gagang telepon.

"Hallo?"

"Gun..?" Itu adalah suara neneknya dan neneknya menangis.

"Kenapa ama? Kenapa kau menangis?" Tanyanya.

"Orang tuamu...mereka..."

"Mereka kenapa?!" Tanyanya sekali lagi dengan nada yang lebih tinggi. Jantungnya berdegup kencang, ia tidak suka dengan perasaan ini. Dan saat mendengar kelanjutannya, Gun menjatuhkan gagang teleponnya. Tangannya kaku dan sesuatu merembes keluar dari matanya.

Tidak. Mereka tidak mungkin meninggal. Mereka sedang dalam perjalanan ke bandara, mereka seharusnya menikmati liburan mereka ke Australia.

Gun tidak bisa menerima kenyataan itu. Jadi ia berlari meninggalkan sekolah ditengah derasnya hujan, ia naik bus untuk pergi ke rumah sakit dimana neneknya sudah menunggunya saat ini. Ia perlu melihat dengan mata kepalanya sendiri, ia tidak akan mempercayainya.

Tapi satu-satunya harapannya hancur saat ia melihat mayat kedua orang tuanya di kamar mayat. Hatinya sakit, rasanya seperti ia baru saja dilempar ke dalam jurang.

"Gun..." panggil neneknya mencoba untuk berbicara padanya.

"Tidak mungkin." Bisik Gun pelan. Ia menghapus airmatanya kasar dengan lengan bajunya. "Tidak mungkin!!"

Ia mendorong orang-orang yang mencoba untuk menutup tas plastik dari mayat orang tuanya, namun penjaga disana memegangnya dengan kuat. Gun memberontak dan melepaskan dirinya dari genggaman mereka, ia kemudian berlari ke atas atap rumah sakit. Hujan deras membasahi tubuh dan rambutnya begitu ia tiba disana, airmatanya bercampur dengan hujan.

Hadirnya petir membuat segalanya menjadi semakin buruk. Gun sangat dekat dengan kedua orang tuanya, ia adalah anak kesayangan mereka. Mereka berjanji akan mengajak Gun berlibur ke Paris setelah sekolah libur namun itu semua hanya tinggal kenangan.

Ia ingin mati saja, ia ingin mengakhiri hidupnya, ia tidak ingin lagi berada di dunia ini, tidak tanpa kedua orang tuanya. Gun berjalan mendekat ke arah pembatas atap, ia berada di lantai 25 saat ini dan jika ia melompat ia akan langsung mati tanpa rasa sakit.

Hentikan, Gun. Jangan lakukan itu.

Gun menoleh ke belakang saat ia mendengar suara seseorang, ia melirik namun tidak ada siapapun disana. Dan tanpa berpikir dua kali, Gun menjatuhkan dirinya ke bawah. Ia menatap ke arah langit, berharap tubuhnya akan segera mendarat ke tanah dan mati. Namun ia justru melihat seorang pria terjun dari atap yang sama. Ia tidak melihat pria itu tadi diatas atap bersamanya.

The Devil's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang