Ketika Komunitas Membangun Literasi
Masalah literasi adalah bahan yang tak pernah habis dibicarakan. Persoalan minat baca, akses buku, hingga peran pemerintah dalam penyediaan literasi lagi-lagi dipertanyakan oleh dua puluh enam komunitas literasi yang mengisi panel Festival Literasi Tangsel 2018. Mereka memantik obrolan tentang persoalan literasi, hadir dengan kesadaran bahwa ada yang perlu dilakukan dengan budaya literasi di Indonesia.
Mundur ke pertengahan 2016, rilisan Central Connecticut State University, Amerika Serikat menunjukkan bahwa tingkat literasi Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara—satu tingkat di atas Botswana. Hasil penelitian bertajuk World's Most Literate Nations itu diperoleh melalui survei Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) dan Programme for International Student Assessment (PISA). Rilisan itu juga menyebut beberapa masalah kita dalam perilaku literasi yang mencakup sebaran populasi, pembacaan surat kabar, akses perpustakaan, dan tahun tempuh sekolah.
Masih pada tahun yang sama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat kebijakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) untuk mengasah literasi sejak masa usia sekolah. Gerakan ini mewajibkan setiap siswa membaca selain buku pelajaran selama 15 menit sebelum kelas pertama dimulai. Kendati bervisi jelas, program tersebut diketahui memuat persoalan tersendiri. Dalam eksekusinya, beberapa sekolah kerap sulit memilihkan bahan bacaan untuk siswa. Kekhawatiran pihak sekolah akan konten dewasa dalam bacaan siswa dan evaluasi hasil bacaan menjadi alasan program ini sulit dijalankan.
Agaknya sulit untuk menggantungkan gerakan literasi sepenuhnya pada institusi formal meski pemerintah semestinya punya andil besar dalam mengurusnya. Budaya literasi toh bisa ditumbuhkan dari banyak ragam. Ia bisa saja beranjak dari paparan bacaan orang tua, temuan bacaan yang sesuai dengan minat, hingga lingkungan pergaulan yang membentuk kesadaran seseorang.
Dalam ranah sosial, keberadaan sebuah wadah bisa menjadi landasan dan dorongan bagi seseorang untuk senantiasa membaca dan menulis. Misalnya, bergabung dengan komunitas literasi.
Secara tidak langsung, komunitas berupaya membentuk ekosistem kecil literasi. Di dalamnya, mereka bisa saling bertukar bacaan dan mengadakan obrolan mengenai buku. Sirkulasi bacaan di komunitas juga menjadi siasat untuk mengakali langkanya perpustakaan dan kantong kebudayaan dalam satu wilayah populasi. Kendati, komunitas tetap memiliki persoalan sendiri. Sebab memulai gerakan literasi adalah satu persoalan, di samping bagaimana mempertahankannya dan menyebarkan semangatnya seluas mungkin.
Komunitas sebagai Ruang Pertukaran Bacaan
"Forum Besar Komunitas Literasi", panel dalam Festival Literasi Tangsel 2018, menandakan komunitas punya andil dalam persebaran literasi. Forum yang baru kali pertama diadakan itu menghadirkan sekitar 26 komunitas literasi. Mereka memperkenalkan visi dan kegiatannya, sekaligus berbagai persoalannya selama berjibaku di dunia literasi. Antara lain hadir beberapa komunitas Taman Bacaan Masyarakat (TBM); seperti Kolong, Serambi, dan Buaran Hijau juga berbagai komunitas dan wadah seni akar rumput; seperti Rusabesi, Aliansi Perpustakaan Jalanan, Aldo Zirsov Library, Paviliun Puisi, hingga Dapur Sastra Cisauk.
Setiap komunitas tentu memiliki pola yang tidak bisa diseragamkan—dilihat dari adanya praktik yang mesti mengandalkan pemerintah dan yang mampu berdiri independen. Pihak yang menaungi Taman Bacaan Masyarakat, misal, mau tidak mau mesti menggantungkan diri pada pemerintah sebab mereka bernaung di bawah Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPAD). Kendati mendapat sokongan, mereka mengeluhkan pemerintah yang dirasa tidak mengerti bacaan yang tepat guna untuk masyarakat setempat. "Selain kurang bervariasi, beberapa buku yang datang juga tak relevan, seperti buku Tata Cara Menanam Kelapa Sawit yang banyak kami dapat," sebut salah satu pengelola TBM seluruh Tangerang Selatan.
Lain hal komunitas seperti Rusabesi, yang mampu terus berjalan tanpa menggantungkan diri kepada pihak luar. "Kami biasa mengadakan diskusi manasuka bersama para mahasiswa di selasar wilayah kampus kami, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan menerbitkan jurnal yang bisa dibaca umum." Selain itu, komunitas seperti Klub Baca Tangerang, Perpus Kolektif, dan Aliansi Perpustakaan Jalanan bisa membuka lapak bacaan dengan modal buku-buku pribadi yang mereka punya. Berawal dari perkumpulan itu, dialektika bisa hadir—yang bagi mereka justru itulah sisi terpentingnya. Kendati, segelintir keluhan masih hadir sebab minimnya minat orang-orang di luar lingkaran mereka untuk turut andil.
Ryan Suryadinata, moderator forum, menggarisbawahi bahwa selama ini literasi banyak bergerak di "bawah tanah", dalam artian berlangsung lewat komunitas, bukan institusi formal. "Sebab komunitas tidak melahirkan perspektif tunggal yang mesti seragam satu dengan yang lain. Pun, akan lebih baik jika kita bisa belajar lebih mandiri juga," tuturnya.
Bagi Ryan, akan sia-sia jika komunitas berpangku tangan dan bergantung hanya pada pemerintah yang tidak terlalu peduli dengan literasi. Selama ini banyak komunitas tetap bisa berjalan berkat keinginan individu-individu di dalamnya saja.
Aldo Zirsov—seorang pecinta buku yang membuka ribuan koleksi bacaan pribadinya menjadi perpustakaan umum—mengatakan bahwa yang dibutuhkan komunitas adalah mulai bersinergi. "Untuk menjadi mandiri kita butuh sinergi dengan komunitas lain. Komunitas mesti memikirkan apa level-level selanjutnya sehingga tidak buntu," ujarnya. Bagi Aldo, sinergitas juga akan membuat kerja kebudayaan menjadi tidak terlalu melelahkan. Ia menyarankan komunitas literasi juga mesti terbuka dengan hal lain di luar bacaan—seperti mempelajari pemasaran, sebutnya—sehingga siapa pun tetap bisa hidup dari sana, tentu jika ia mau.
Mikael Johani yang mewakili Paviliun Puisi (sebuah wadah pembacaan puisi open mic setiap akhir bulan di Paviliun 28, Kebayoran Baru) mengutarakan bahwa upaya yang paling dekat bagi para penggiat literasi bisa dimulai dengan menyadari kelas dan privilesenya.
Mikael beranggapan bahwa dengan sadar kelas, seseorang bisa mengetahui apa tindakan yang mesti dilakukannya.
"Aku mengaku sebagai borjuis dan dengan segala keuntungan itu, aku bisa mengadakan Paviliun Puisi sebagai tempat pembacaan puisi bagi siapa pun. Adapun itu mendorongku bisa lebih peka dengan kondisi literasi di luar lingkaranku."
Mikael menggarisbawahi bahwa dengan sejumlah massa, berbagai komunitas di Tangerang Selatan semestinya bisa menyenggol segala aspek. Mulai dari usaha mengadvokasi kebijakan pemerintah—yang memang ada aturannya—sebagaimana kegelisahan teman-teman di KBM. Atau, ia bisa bergelut di akar rumput dengan cara menggali berbagai bacaan dan mengadakan diskusi atau bedah buku. "Dari semua kesadaran itu, kita akan tahu sebenarnya sedang berada di sistem apa dan mesti melakukan apa. Jangan sampai kita seolah ribut-ribut sendiri di sini, sedangkan orang di luar sana malah ongkang-ongkang kaki melihat kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Literasi Digital
Non-FictionKesadaran dan Analisa Literasi Masa Kini Selesai: 33 Judul Proses: 6 Judul