Perkembangan dunia teknologi yang sangat pesat pada zaman sekarang ini memudahkan kita mendapatkan informasi dengan mudah. Cukup dengan sekali klik di internet, ribuan postingan mewarnai lini masa dengan berbagai macam postingan peristiwa setiap detiknya. Di satu sisi, perkembangan teknologi memberikan banyak keuntungan bagi bangsa ini, namun di sisi lain perkembangan itu membawa peradaban instan yang menggerus budaya literasi anak bangsa.
Istilah literasi mungkin familiar digunakan dalam berbagai istilah kata. Namun belum banyak orang yang memahami makna dari literasi itu sendiri. Literasi merupakan kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca, menulis, dan diikuti dengan analisis berfikir. Tujuannya adalah menciptakan suatu proses yang dinamis sehingga menghasilkan suatu karya.
Literasi sangat identik dengan membaca dan menulis. Membaca dan menulis merupakan dua sisi berbeda yang saling berkaitan. Ibarat dua sayap burung apabila salah satu tidak berfungsi, maka burung itu tidak akan bisa terbang. Begitu juga dengan membaca dan menulis. Membaca tanpa menulis sama saja omong kosong dan sebaliknya. Semakin baik kualitas dan kuantitas kegiatan dalam membaca akan berakibat baik juga pada kegiatan menulis.
Permasalahan yang terjadi pada saat ini adalah banyak masyarakat kita yang lebih sering membaca postingan media sosial daripada membaca buku. Berdasarkan data dari UNESCO pada tahun 2012, Indonesia menempati peringkat 60 dunia dengan minat baca masyarakat menunjukkan angka 0,001. Artinya setiap 1000 orang Indonesia hanya ada 1 orang yang benar-benar hobi membaca buku. Ini jelas sangat memprihatinkan dengan negara yang pernah melahirkan penulis-penulis hebat zaman dahulunya.
Generasi millenial hari ini lebih mudah terprovokasi akibat postingan yang ada di internet, khususnya media sosial. Akibat minat membaca yang rendah dan minat berkomentar yang tinggi, para netizen ini lebih senang debat kusir di media sosial. Dan yang lebih buruk lagi, permasalahan yang terjadi di dunia maya berdampak ke dunia nyata sehingga terjadi aksi kejahatan.
Literasi juga cukup tercoreng dengan munculnya berita-berita hoax yang banyak beredar di internet akhir-akhir ini. Hoax merupakan usaha untuk menipu dan mengakali pembaca untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu.
Fenomena hoax inilah yang memunculkan permusuhan dan perselihan antar manusia yang di adu domba oleh pihak ketiga. Dengan iming-iming pendapatan yang tinggi, si pembuat berita rela menggunakan kemampuan analisa berfikir dan menulisnya untuk membuat berita-berita yang tidak valid datanya serta kebenarannya.
Membangkitkan (Kembali) Gerakan Literasi yang Sehat
Masyarakat Indonesia hari ini memiliki cukup penunjang dalam hal literasi. Sebut saja perpustakaan, buku, hingga mobil perpustakaan keliling yang dicanangkan pemerintah telah menjangkau beberapa daerah di nusantara. Namun, terlihat sekali infrastruktur yang diberikan pemerintah tidak menjamin meningkatnya minat baca masyarakat.
Literasi harus menjadi gerakan yang mampu menjawab segala tantangan dan permasalahan bangsa ini. Literasi yang sehat akan memberikan dampak positif juga bagi diri sendiri juga masyarakat. Lalu literasi yang seperti apa yang seharusnya dilakukan?
Pertama, gerakan literasi di era yang serba mengandalkan internet ini harus meng-upgrade diri menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Bisa saja aktivitas literasi tidak hanya dilakukan di sekolah atau tempat belajar lainnya, tetapi juga di internet atau sosial media. Literasi digital bisa menjadi salah satu solusinya.
Secara umum, literasi digital adalah kemampuan menggunakan teknologi informasi untuk menemukan, memanfaatkan, mengkomunikasikan konten informasi dengan aman, nyaman, dan bertanggung jawab. Hal ini bisa mengatasi anak-anak usia belia dalam menggunakan internet lebih bijak memilah hal-hal positif.
Kedua, tidak munafik rasanya apabila kita melihat banyak generasi masa kini yang tidak suka membaca dan menulis. Nah, cara efektif dalam mengatasi hal klasik seperti ini adalah melakukan kegiatan literasi yang tidak hanya sebatas buku dan tulis, namun memasukkan unsur literasi tersebut ke dalam bentuk kesenian seperti lagu, pertunjukan teater, dan gambar. Dari bentuk kesenian inilah akan muncul gerakan untuk mengajak masyarakat peduli terhadap literasi.
Ketiga, ini adalah kritikan bagi pemerintah kita saat ini. Kurangnya apresiasi terhadap literasi membuat sebagian masyarakat dengan mudah menyepelekan kehadiran buku. Banyak buku yang bermanfaat ditelantarkan, bahkan oknum aparat malah dengan mudah memberangus buku-buku yang dianggap berbahaya. Padahal di internet, logo dan gambar serta artikel yang berbahaya masih banyak beredar.
Selain itu kegiatan yang bersifat diskusi akademik, pertunjukan seni, dan pemutaran film sering dilakukan pelarangan oleh pemerintah. Pemerintah menganggap bahwa kegiatan tersebut akan menimbulkan kesalahpahaman dalam masyarakat.
Seharusnya pemerintah lebih demokratis dalam menanggapi hal-hal semacam ini. Kebebasan berekspresi dan berpendapat harus dituangkan ke dalam ranah dialogis. Apabila memang hal tersebut dianggap berbahaya, pemerintah juga dapat menerbitkan anti tesis dan pemahaman yang jelas.
Tentunya semangat literasi ini harus menjadi tanggung jawab kita bersama dalam mewujudkan bumi pertiwi ini bebas dari penyakit buta aksara. Melalui pendidikan, literasi dengan sendirinya akan menjadi budaya sebagai tonggak dalam melahirkan generasi-generasi yang akan membawa negeri ini maju di masa yang akan datang.
Hal yang patut direnungkan, literasi adalah salah satu hakikat peradaban. Jika tidak ada yang membaca, suatu bangsa akan bodoh. Jika tidak ada yang menulis, maka semua akan lenyap. Melalui baca tulis kita tinggalkan pesan untuk generasi yang akan datang. Melalui tinta pena kita dikenang dan dibicarakan di masa mendatang. Salam literasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Literasi Digital
No FicciónKesadaran dan Analisa Literasi Masa Kini Selesai: 33 Judul Proses: 6 Judul