Fenomena Hoax dan Literasi Digital di Indonesia

72 3 0
                                    

Tawuran opini di ragam kanal komunikasi warga hingga saat ini masih terjadi. Bahkan, kecenderungannya kian menjadi-jadi. Selain karena polarisasi politik akibat dukungan yang berbeda di kontestasi elektoral, muncul sejumlah penyebab riuh rendahnya media daring, terutama di media sosial. Fenomena bisnis gelap kelompok Saracen yang meledak belakangan ini menjadi gambaran puncak gunung es dari fenomena industri hoaks yang menjadikan isu-isu berdaya ledak tinggi seperti isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) nyata adanya di tengah masyarakat.

Model Saracen
Industri hoaks di Indonesia menemukan momentumnya. Intensitas konsumsi hoaks naik tajam, terutama sejak 2014 meskipun hoaks sendiri sesungguhnya bukanlah fenomena baru. Kata hoaks jika ditelusuri dari sejarah asal katanya pertama kali populer digunakan pada pertengahan hingga akhir abad ke-18. Berasal dari kata yang kerap digunakan para pesulap yakni hocus pocus. Istilah hocus pocus sendiri pertama kali muncul awal abad ke-17. Dalam Cambridge Dictionary (2017), disebutkan hoaks adalah rencana menipu sekelompok besar orang. Intinya hoaks adalah informasi yang tidak berdasarkan fakta atau data, tetapi tipuan dengan tujuan memperdaya masyarakat dengan model penyebaran informasinya yang masif.

Dengan demikian, ada dua karakter menonjol dari hoaks ini, yakni selalu direncanakan dan kebohongannya ditunjukkan untuk memapar banyak orang dalam waktu bersamaan. Contoh terhangat adalah kelompok Saracen. Strategi mengelola bisnis hoaks dilakukan terencana, terorganisasi, dan memanfaatkan ceruk 'pasar' konsumen dan produsen informasi di media sosial yang abai dengan literasi digital, literasi informasi dan juga literasi politik. Kalau ilihat dari modusnya, para pelaku bukan semata-mata mahir menebar berita palsu, ujaran kebencian, dan 'menggoreng' isu, melainkan juga terkoneksi ke jejaring politik dan sepertinya punya stelsel aktif para petualang di belakang layar.

Lihat saja penamaan kelompok mereka. Jika ditelusuri di literatur akademik, dalam The Advanced Learner's Dictionary of Current English, yang disusun AS Hornby, EV Gatenby, dan H Wakefield, Saracen merupakan nama yang digunakan orang Yunani dan Roma untuk orang Arab atau muslim pada masa perang Salib. Dengan demikian, dari aspek namanya saja sudah terendus niat mengembuskan semangat berperang (warmongering). Dalam komunikasi politik, istilah warmongering memiliki makna teror berbentuk propaganda yang mengembus-embuskan perang.

Jadi, Saracen sepertinya bukan industri hoaks biasa, melainkan terhubung dengan jangkar-jangkar politik yang memanfaatkan hoaks sebagai sarana pencapaian kepentingan pragmatis kekuasaan melalui politik adu domba dengan menjadikan SARA sebagai amunisinya.
Model bisnis hitam Saracen ini sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia. Terutama, jika tak cepat diatasi, itu akan mengoyak kebangsaan kita melalui eksploitasi fitnah, gosip, pembunuhan karakter yang dibalut dengan sentimen SARA. Modus bisnis semacam Saracen mendapatkan pasar karena tiga faktor.

Pertama, pola konsumsi dan distribusi informasi di media daring yang memindahkan cara bercerita dan bertukar gosip serta rumor dari mulut ke mulut menjadi tautan informasi yang menyesaki lini massa media sosial. Tak dimungkiri, meminjam istilah Walter Fisher, sebagaimana dikutip Julia T Wood, Communication Theories in Action (2004), manusia adalah homo narrans alias makhluk pencerita. Kerap kali, karena keinginan bercerita dan bergosip yang tak diimbangi dengan literasi digital, informasi, dan politik inilah, warga internet (netizen) menjadi mata rantai bekerjanya industri hoaks. Kedua, cara berkomunikasi yang diarahkan mental bigot. Istilah bigot merujuk pada orang yang memiliki dasar pemikiran bahwa siapapun yang tak memiliki kepercayaan yang sama dengan dirinya adalah orang atau kelompok yang salah.

Sektarianisme merupakan bentuk bigotry yang mewujud dalam sentimen emosional penuh kebencian dan intoleran. Berpikiran negatif terhadap orang atau kelompok berbeda terutama suku, agama, dan ras. Hubungan komunikasinya sangat berjarak akibat pola superioritas dan inferioritas yang dijadikan acuan. Semakin banyak pertentangan, dan masyarakat saling membenci, semakin suburlah bisnis hoaks ini. Ketiga, agenda politik yang berimpitan dan tidak dibarengi dengan kedewasaan dalam menyikapinya. Misalnya kontestasi elektoral sejak 2014 terus berlangsung.

Pilkada Serentak 2015, 2017, 2018, dan memuncak di pemilu presiden dan pemilu legislatif yang diselenggarakan serentak pada 2019. Cara memenangi pertarungan kerap diwarnai dengan kampanye hitam atau propaganda yang menggunakan isu SARA sebagai senjata.

Daya tahan
Kasus Saracen harus dituntaskan! Selain para pelaku yang berbisnis hoaks tersebut, harus diusut siapa saja para pemesannya. Melalui jejak digital dan aliran transaksi keuangan mereka, kita harapkan ada penegakan hukum untuk para pelaku dan pemesan. Namun, ada hal fundamendal lain yang harus dijadikan kerja bersama untuk merestriksi maraknya bisnis seperti Saracen ini. Masyarakat perlu menguatkan daya tahan diri, dalam menghadapi paparan informasi yang berlimpah setiap saat. Untuk menguatkan daya tahan tersebut, diperlukan inokulasi komunikasi. William J McGuire sebagaimana dikutip di bukunya Pfau, The Inoculation Model of Resistance to Influence (1997), menganalogikan proses ini seperti di dunia medis.

Orang menyuntik vaksin untuk merangsang mekanisme daya tahan tubuhnya. Jika Anda memiliki daya tahan tubuh kuat, tentu tak akan mudah terserang penyakit. Pun demikian dalam proses berkomunikasi. Proses memberi vaksin tersebut, tiada lain adalah literasi digital.
Konteks literasi digital itu adalah kemampuan menggunakan dan memanfaatkan teknologi digital seperti media daring dengan tiga landasan utama yakni pengetahun, skill dan sikap. Pengetahuan untuk menjadi penyaring sebuah informasi itu masuk akal atau tidak, punya landasan argumentasi, data, fakta atau tidak. Skill untuk mengakses dan membandingkan antara satu informasi dengan informasi lain dari sumber-sumber yang kredibel. Sikap ajek dan tegas yang diperlukan untuk memastikan bahwa baik sebagai produsen maupun konsumen akan bertanggung jawab secara sosial atas informasi yang dipertukarkan. Jangan pernah menoleransi apa pun bentuk hoaks!

Literasi DigitalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang