Penimbun--emas itu berjalan di taman istananya dan bersamanya ikut kesulitan-kesulitannya. Dan di atas kepalanya melayang-layang kecemasan seperti seekor burung hering melayang-layang di atas bangkai, sampai dia mencapai suatu danau cantik yang dikelilingi oleh patung-patung marmar amat indah.
Dia duduk di sana sambil merenungkan air yang tercurah dari mulut patung-patung itu seperti gagasan mengalir dengan bebas dari imajinasi seorang kekasih, dan memikirkan dengan suntuk istananya yang berdiri di atas sebuah bukit kecil seperti sebuah tanda lahir di atas pipi seorang gadis. Agan-angannya membukakan kepadanya halaman-halaman dari drama kehidupannya yang dia baca dengan air mata bercucuran yang menutupi matanya dan membuatnya tidak melihat betapa lemahnya manusia di samping alam.
Dengan penyesalan getir dia memandang ke belakang gambar-gambar dari kehidupan masa mudanya, dipantai ke dalam pola oleh para dewa, sampai dia tidak bisa mengendalikan lagi kesedihan. Dia berkata keras-keras, "kemarin aku mengembalakan dombaku di lembah yang hijau, sambil menikmati~keberadaanku, meniup serulingku, dan menegakkan kepalaku tinggi-tinggi. Hari ini aku tawanan keserakahan. Emas diikuti emas, lalu diikuti kegelisahan dan akhirnya kesengsaraan yang menghancurkan.
"Kemarin aku seperti seekor burung penyayi, terbang tinggi dengan bebas di sana sini di padang itu. Sekarang aku seorang budak untuk kekayaan yang berubah-ubah, aturan masyarakat, dan pajak kota, dan teman-teman yang dibeli, menyenangkan orang dengan mencocokan kepada hukum sempit dan aneh bikinan manusia. Aku dilahirkan untuk bebas dan menikmati rahmat kehidupan, tetapi aku menemukan diriku sendiri seperti seekor kuda beban yang dimuati emas begitu berat sampai punggungnya patah.
"Dimanakah dataran luas itu, anak-anak sungai yang menyanyi, angin sepoi-sepoi murni, kedekatan Alam? Di manakah kedewaanku? Aku telah kehilangan semua! Tak ada yang tersisa kecuali kesendirian yang membuatku sedih, emas yang menertawakan aku, budak-budak yang mengutukku dari belakang, dan sebuah istana yang telah kudirikan sebagai makam untuk kebahagiaanku, dan dalam kebesarannya aku telah kehilangan hatiku.
"Kemarin aku mengelilingi padang rumput dan bukit-bukit bersama dengan putri orang Bedouin itu; Kebajikan adalah teman kami, Cinta kegembiraan kami, dan bulan adalah pembimbing kami. Hari ini aku berada di antara perempuan-perempuan dengan kecantikan palsu yang menjual diri mereka sendiri untuk emas dan berlian.
"Kemarin aku riang gembira, berbagi bersama para gembala semua kegembiraan hidup; makan, bermain, bekerja, beryanyi dan menari bersama-sama diiringi musik kebenaran hati. Hari ini aku menemukan diriku sendiri di anatara orang-orang seperti seekor domba ketakutan di tengah serigala. Kalau aku berjalan-jalan, orang menatapku dengan mata penuh kebencian dan menundingku dengan ejekan dan kecemburuan, dan kalau aku mengintip lewat taman aku melihat wajah-wajah mengerutkan kening di sekelilingku.
"Kemarin aku kaya dalam kebahagiaan dan hari ini aku miskin dalam emas.
Kemarin aku seorang gembala bahagia yang memandang di atas kepalanya seperti seorang raja yang berbalas kasih memandang dengan senang ke atas rakyatnya yang puas. Hari ini aku seorang budak yang berdiri di depan kekayaanku, kekayaan yang merampok dariku keindahan hidup yang penuh kukenal.
"maafkan aku, Hakimku! Aku tidak tahu bahwa kekayaan akan memecah-mecah hidupku dan membawaku ke dalam sel bawah tanah kekejaman dan kebodohan. Apa yang kukira kemuliaan adalah bukan apa-apa kecuali suatu neraka abadi.
Ia menghimpun kekuatannya dengan letih dan pelan-pelan berjalan ke arah istana itu, sambil mendesah dan mengulang-ulang, "Inikah yang disebut seang kekayaan? Inikah dewa yang kuyakini dan kusembah? Inikah apa yang kucari dari bumi? Mengapa aku tidak bisa menukarnya untuk satu partikel kepuasan? Siapa yang mau menjual kepadaku satu gagasan indah dengan harga satu ton emas? Siapa yang mau memberikan satu saat cinta untuk segenggam permata? Siapa yang mau menganugerahi sebuah mata yang saat melihat hati orang lain, dan ditukarkan dengan semua peti hartaku."
Ketika mencapai pintu gerbang istana itu, dia membalikkan badan dan memandang ke arah kota seperti Jeremia memandang ke arah Yerusalem. Dia mengangkat lengannya sambil meratap sedih dan berseru, "Oh, warga kota yang hiruk-pikuk, yang hidup di dalam kegelapan, yang bergegas ke arah kesusahan, berkhotbah kebohongan, dan bicara dengan kebodohan... sampai kapan kalian akan tetap bodoh? Menyatu ketika kau akan berdiam dalam kotoran hidup dan terus menelantarkan kebun-kebunnya? Mengapa kau mengenakan jubah keterbatasan yang compang camping sementara baju sutra keindahan Alam diciptakan bagimu? Lampu kebijaksanan mulai meredup; saatnya mengisi dengan minyak. Rumah kekayaan sebenarnya tengah dihancurkan; sudah saatnya membangunnya kembali dan menjaganya. Pencuri kebodohan telah mencuri harta dari kedamaianmu; sudah waktunya mengambil kembali!"
Pada waktu itu seoramg miskin berdiri di depannya dan mengulurkan tangannya minta sedekah. Ketika memandang pengemis itu, bibirnya membuka, matanya terang oleh suatu kelembutan, dan wajahnya bersinar oleh kebaikan. Itu seakan hari kemarin yang dia ratapi dekat danau telah datang menyambutnya. Dia memeluk pengemis itu dengan penuh kasih sayang dan memenuhi lengannya dengan emas, dengan satu suara ramah dengan manisnya cinta dia berkata, "Kembalilah besok dan bawa teman-teman sependeritaanmu. Semua milikmu akan kukembalikan."
Dia memasuki istananya sambil berkata, "Segala sesuatu dalam hidup itu bagus; bahkan emas, karena itu memberi satu pelajaran. Uang itu seperti sebuah instrumen berdawai; dia yang tidak tahu cara memainkannya sebagaiman mestinya akan mendengar musik sumbang. Uang itu seperti cinta; dia membunuh secara pelan-pelan dan menyakitkan orang yang menyembunyikannya, dan dia menghidupkan yang lain yang memberikannya kepada orang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Poetry Of Kahlil Gibran
PoetryCuplikan-cuplikan sebuah karya terbaik dari Kahlil Gibran. [Akan direvisi setelah selesai]