Sudah mencari ke sekeliling sekolah dan bertanya pada setiap orang yang Cakra kenal, tapi cowok itu tetap saja tak menemukan Elsa. Elsa seperti menghilang begitu saja dari dunia.
Beberapa tempat yang belum Cakra cari, salah satunya adalah taman belakang sekolah. Setahunya, Elsa tak berani pergi ke sana sendirian, cewek itu penakut, apalagi datang ke sana seorang diri, karena yang Cakra tahu di taman belakang sekolah menyimpan cerita mistis.Setelah di pikir-pikir, tak ada salahnya juga bila ia mencari cewek itu ke sana, tapi sepenuhnya Cakra tidak yakin, tak apalah, yang penting ia bisa menemukan cewek itu.
Dari kejauhan, Cakra bisa melihat cewek yang sedang duduk sendiri, menengadah ke atas langit, entah menatap apa, tapi Cakra yakin, cewek itu sedang tidak baik-baik saja. Cewek dengan rambut di cepol itu sesekali menyelipkan anak rambutnya yang tak tersusun rapi. Elsa. Dia seperti ketakutan, lihat saja, setiap ada suara di dekatnya cewek itu langsung menoleh ke sumber suara. Hal itu membuat Cakra tertawa di kejauhan.
"Sendirian aja."
Refleks Elsa menoleh, ia sudah bisa menebak suara bariton yang terdengar ditelinganya, siapa lagi kalau bukan kakak kelasnya yang bernama Cakra. Melihat kedatangan Cakra, cewek itu menyunggingkan senyum. Tapi entah kenapa, Cakra hanya melihat senyuman menyedihkan yang tersungging di bibir Elsa, bukan senyum ceria yang biasanya ia lihat.
"Duduk kak," ucap Elsa canggung, lalu ia sedikit menggeser tubuhnya ke samping, menyisakkan tempat yang bisa diduduki oleh Cakra.
Cakra menggeleng, "gak baik dua-duaan, gue di sini aja." Ujarnya, lalu duduk di atas batu yang berada di bawah pohon mangga, batu yang lumayan besar untuk ia duduki.
Elsa hanya mengangguk. Lalu matanya memperhatikan Cakra yang sedang berpikir, mungkin untuk mencari topik obrolan, atau entahlah. Yang pasti, Elsa juga ingin saling melempar obrolan dengan cowok itu.
"El, lo kenapa?" Cakra bertanya sambil menatap cewek yang kini tatapannya terarah ke langit.
Perlahan, Elsa menggeleng, beralih menatap Cakra. "Gue nggak papa," katanya. Kemudian ia berpikir kembali, "kak, apa gue harus turutin omongan lo ya?"
Cakra tak mengerti, "omongan yang mana?"
"Gue nyerah aja, dan gue bakalan ngejauh dari hidup lo, seperti yang lo katakan waktu itu," ucapnya sambil terus menatap langit, air matanya sudah menggenang di pelupuk matanya.
Cakra tersentak, mendengar kalimat yang Elsa katakan memang begitu menyakitkan. Cewek itu akan pergi dari hidupnya, rasanya, ia kehilangan sesuatu yang berharga. Ia menyesal mengatakan itu kepada Elsa, tapi Cakra juga sudah minta maaf bukan?
"Jangan lakuin itu El.""Tapi kak, disini bukan cuma lo yang jadi korban, gue juga. Sekarang gue mau nuruti kata-kata lo, dan gue akan pergi dari hidup lo. Sebelumnya gue minta maaf."
Setelah itu Elsa beranjak pergi dari sana, air matanya menetes, tapi buru-buru ia hapus. Sedangkan Cakra memanggil nama Elsa beberapa kali, cewek itu sepertinya tidak mau mendengar. Cakra frustasi, ia mengacak rambutnya. Oke, jika ini yang dulu ia inginkan, dan Elsa pun menginginkannya juga.
Cakra menghela napas gusar. "Gue akan berhenti mencintai lo perlahan," katanya sambil tersenyum kecut.
***
Elsa menatap teman-temannya yang sudah berada di dalam kelas. Maudy sedang berbicara dengan Bintang, sedangkan Anggi, Raya, sedang bercanda dengan Ajeng. Elsa tersenyum untuk itu, setidaknya ia masih memiliki sahabat seperti mereka.
"Eh, lo dari mana aja sih El?" Tanya Bintang, saat menyadari keberadaan Elsa yang baru saja datang.
"Belakang sekolah," katanya jujur.
"Raina dimana?"
Bintang dan Maudy menggeleng, "gue gak tau tuh, ditelen bumi kali ya." Kata Maudy.
"Raina bukan siapa siapa lagi, dia udah bukan anggota 'Always Together' lagi," ucap Bintang sambil memutar bola mata.
"Secara detail nya nanti gue jelasin." Ujar Maudy, Elsa mengangguk.
"Persahabatan hancur, cinta pun sama," Elsa hanya tersenyum miris.
Mata Maudy melotot, "maksud lo cinta pun sama, apaan?"
"Gue bakal ngejauh dari kak Cakra," Elsa mengedikkan bahu. "Udahlah, jangan pikirin hal itu." Elsa langsung menuju tempat Anggi dan Raya.
"Lo dari mana aja sih El?" ucap Anggi.
Elsa mengedikkan bahu. "Jangan dibahas." Kemudian matanya menatap ke arah jendela kelas, sontak ia kaget karena Mars, kakak kelas yang pernah berurusan dengan Cakra ada di depan kelasnya.
"Kok ada kak Mars sih?" Tanya Elsa bingung, Anggi langsung mengikuti arah pandang Elsa.
"Iya, kenapa kak Mars ada di sini?"
Mars tiba-tiba masuk ke kelas XI IPA 1, langsung menuju meja yang ditempati Bintang dan Maudy. Mereka berdua tersentak melihat Mars yang tiba-tiba datang.
Bintang menatap Mars sambil memicingkan mata, sedangkan Mars menatap Bintang dengan tatapan yang terkesan sinis.
"Gue mau nanti lo pulang bareng gue."
Tujuh kata penuh penekanan itu membuat Bintang melotot, apalagi setelah itu Mars keluar begitu saja. Secara tiba-tiba cowok itu mengatakan kalimat aneh? Astaga!
Sedangkan Maudy ditempatnya hanya melihat mereka berdua tadi. "Jadi, kak Mars nawarin lo pulang bareng gitu?" Kata Maudy. "Jangan pulang sama dia Bin, takutnya dia cuma mempermainkan lo, karena dia kan emang terkenal playboy. Terserah sih, gue cuma kasih saran."
Bintang memikirkan baik-baik. "Gue ikuti saran lo," ucapnya.
Anggi keluar kelas, disusul yang lainnya. Matanya terus menatap kelas sebelah, dan tepat saat itu Angga berada di luar kelas.
"Kalo suka samperin, jangan liatin dari jauh," sindir Elsa.
Anggi hanya menyengir, "terus gue nyamperin dia harus ada alasannya dong," Anggi menekuk bibirnya.
Elsa langsung saja menarik tangan Anggi untuk menghampiri Angga.
"Eh Ga, ceritain cerita aneh lo dikelas sepuluh deh, ya ya?" Elsa meminta hal itu agar Angga setidaknya bisa mengingat hal aneh bersama Anggi sewaktu kelas sepuluh.
Angga tampak mengingat hal itu terlebih dahulu. Lalu mengangguk. "Gue masih inget yang pas dulu, Rega bilang Anggi suka sama gue, tapi itu bener atau enggak sih? Kita kan sahabat ya Gi, Rega pasti bercanda kan?"
Entah kenapa, mendengar kalimat itu ada bahagianya dan juga ada sedihnya. Anggi bahagia karena Rega mungkin pernah mengatakan hal itu kepada Angga, tapi sedihnya Angga hanya menganggapnya sebagai sahabat. Benar-benar terjebak friendzone.
Elsa hanya bisa menatap Anggi yang wajahnya ditekuk, sepertinya cewek itu bersedih. "Ih Ga, bukan yang gitu, tapi hal yang lucu atau aneh, gini deh, ceritain hal yang lo alami sama Anggi di kelas sepuluh."
"Oh iya, gue baru inget. Pas kelas sepuluh lo jail banget Gi, lo masih inget kan? Lo ngejual gelang gue demi lo bisa naik angkot. Padahal gue punya uang waktu itu, tapi lo bilang uangnya harus hasil jerih payah dia sendiri." Angga tertawa terbahak-bahak menceritakan hal itu, dimana saat itu Anggi meminta gelang yang diberi oleh salah satu teman Angga.
Anggi ikut tertawa, ia sedikit malu karena Angga menceritakan hal absurd yang ia lakukan saat itu. Tapi ia juga bahagia menyadari Angga masih mengingatnya dan Angga tertawa.
Bel pelajaran ke lima berbunyi. Hal itu membuat Elsa, Angga dan Anggi berdecak. "Yah, masuk. Gue masuk duluan ya." Elsa menatap Angga dan Anggi bergantian. "Terserah kalo kalian masih mau ngomong, takut ganggu gue." Setelah itu Elsa melengos pergi.
Sedangkan Anggi menatap sekeliling dan berpikir. "Gue masuk juga deh," ujarnya sambil melambaikan tangan ke Angga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always Together
Dla nastolatków"Menyempurnakan kisah yang tak pernah sempurna" . . . . 'Always Together' , kisah yang tak pernah merajut kata sempurna, namun berusaha untuk membuatnya sempurna. Kisah yang tak pernah menjadi nyata, namun nyatanya ada. Anggi, Maudy, Elsa, Raya, Bi...