16 Agustus 2002

1K 39 0
                                    

"Kini giliran api yang membawa semua kenangan pergi dan mengantarkan seseorang kembali ke rumah awalnya"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kini giliran api yang membawa semua kenangan pergi dan mengantarkan seseorang kembali ke rumah awalnya"

Hari-hari di laluinya dengan wajah murung, walau sudah di karuniai seorang anak yang mungil. Namun bukan ini yang ia inginkan, kenapa kebahagian selalu datang bersamaan dengan kepedihan? Kini istrinya memang masih bersamanya, tapi tanpa nyawa. Kini istrinya memang tidur di rumahnya, tapi tak melaksanakan tugas sebagai pengurus rumah tangga lagi. Kini istrinya sudah melahirkan anak, tapi ia menitipkannya dan tidak merawatnya. Dan kini semua kenangan dulu saat Kardi bersama Lindy tinggal kenangan, tapi telah Lindy bawa kesana. Keantah berantah. Kardi terus saja memikirkan tentang kematian istrinya beberapa hari lalu. Ia bahkan terus saja memberikan sumpah serapah terhadap rumah sakit itu, dokter dan jajarannya yang bahkan merekapun tidak tahu titik masalahnya dimana. Hingga kini rumah sakit itu sedang dalam masa pemeriksaan sejak kejadian ini.

*Masa kremasi
Di Bali mengenal sistem dimana jenazah itu tetap disemayamkan di rumah duka sampai ada hari baik untuk membakar jenazah tersebut. Begitu pula dengan jenazah Lindy, sejak 13 Agustus 2002 hingga 16 Agustus 2002 (esok hari) Lindy akan tetap berada dan di tidurkan di rumah duka. Dan hari ini adalah hari terakhir Kardi bertemu dan melihat wajah putih istrinya. Namun kini perut istrinya yang dulunya masih terbongkar kini sudah tertutup kembali. Di hari terakhirnya dalam hidup Kardi melihat kehadiran istrinya, ia tidak akan melupakan setiap momen bersama istrinya, walau kini istrinya hanya bisa terdiam. Kardi tetap terdiam di sisi Lindy, wangi harum dupa dan bunga menemani hari-hari terakhir sebelum kepergian Lindy untuk selama-lamanya. Berjam-jam sudah Kardi terus saja berada di sisi jenazah Lindy, ia bahkan tidak menghiraukan kedatangan tamu demi tamu yang ingin menjenguk mendiang istrinya. Hingga akhirnya Kardi tertidur di dekat tempat tidur Lindy untuk terakhir kalinya. Kardi tertidur dengan pakaian yang masih sama sejak 13 Agustus lalu, dengan ekspresi yang masih sama, dengan kondisi perut yang masih sama pula. Namun sedikit-demi sedikit Kardi mulai meneteskan air matanya, bukan memori lagi yang sedang terekam di kepalanya, melainkan pertemuan hangat antara Kardi dan Lindy sebelum nantinya tak bisa bertemu kembali. Walau hanya bertemu dalam mimpi tetapi itu hal yang sangat indah bagi Kardi untuk posisinya yang seperti sekarang ini.
Dalam mimpi Kardi merasa sedang berada di dalam hutan seperti pada awal kala mereka ke kediaman nenek Indri, namun banyak perbedaan terhadap hutan Sempidi itu. Jika dulu sinyar mentari sama sekali tidak bisa menerobos masuk ke dalam hutan, lain halnya dengan kini, pantulan sinar matahari yang memantul dengan air-air yang bergelayutan di dedaunan, pohon-pohon disana terlihat sangat bahagia karena nampaknya baru merasakan rasanya mandi dengan guyuran air, bunga tumbuh dengan semerbak indah, buah-buah tumbuh dengan segar dan tak terlihat sama sekali kesedihan di wajah pohon-pohon dan hewan-hewan di hutan Sempidi itu. Bahkan suasana itu membuat Kardi tidak sadar bahwa ia sudah sampai di dalam hutan dan tepat disana bukan api unggun dan gentong hitam yang ia temui melainkan rumah bagai kubu hobit nan sangat indah bagai rumah putri di pedalaman hutan. Kardi tanpa sadar telah melangkahkan kakinya menuju ke dalam kubu hobit, di dalam sana sungguh indah walau tak seperti rumah mewah tetapi didalam kubu itu begitu tertata rapi dan bersih walau hanya satu ruangan tapi rasanya begitu nyaman dan asri. Disanalah terdapat seorang wanita yang sedang memasak, itu terlihat dari aroma masakan yang sangat khas masakan ala Bali. Kardi pun mulai menghampiri wanita itu dan setelah di lihat-lihat wanita itu adalah bidadari terindah dalam hidupnya, Iya. Dia Lindy.
Kardi langsung memeluk dengan spontan istri tercintanya. Namun Lindy tidak merespon apa apa ia hanya terdiam dan tersenyum melihat tingkah laku suaminya.
"Kamu kemana sayang?"
"Tenang, aku selalu berada di sampingmu, aku selalu melindungi kalian. Kau harus bahagia"
"Bukan ini yang aku inginkan, aku sudah mengharapkan kita akan menjadi keluarga paling bahagia dan pastinya--"
"Cukup. Dengan melahirkan Gabriel saja sudah menjadi kebahagiaan terbesar dalam hidupku, aku sudah bisa membuktikan kepada ayah dan ibumu bahwa aku bukan wanita jalang yang tak ada gunanya. Itu bahagiaku"
"Tapi aku yang sekarang merasakan pahit mendalam kehilangan orang yang lebih aku sayangi di banding anak yang baru berusia 3 hari itu"
"Cukup Kardi! Kau sudah berlebihan, jika kau ingin aku bahagia jaga Gabriel dengan baik, hatiku ada di dalam dirinya, kenangan kita akan terukir di jiwanya, jaga dia maka itu juga artinya kau menjagaku"
"Tapi dia sama sekali bukan darah dagingku"
"Kardi, ini resiko. Kau di awal mengatakan akan siap menerima segala resiko yang akan kau dapatkan kedepannya. Ini hanya masalah siapa duluan dan belakangan mengalaminya saja. Kini aku yang mendapat undi pertama dan kau kedua, ku nanti kau disana. Selamat tinggal sayang, bangun dan berubah lah. Jaga dia"
Belum sempat Kardi menjawab dan memberikan salam perpisahan, Lindy sudah lenyap begitu saja dari pandangannya dan ia terbangun dari tidur lelapnya. Keadaannya masih seperti keadaan awal, hanya saja kini dupa yang tadinya panjang sudah mulai berkurang namun masih dengan aroma yang sama, bagaikan mimpi Kardi barusan walaupun kini sitrinya sudah tiada namun aroma-aroma kehangatan dan kelembutan istrinya masih tergambar di dalam dirinya. Hingga malam tiba Kardi masih saja dalam posisi yang sama. Malam ini ia lalui dengan penuh renungan, bagaikan malam Siwaratri ia terus saja memikirkan perkataan istrinya, hingga ia baru ingat.
"Bagaimana keadaan anakku sekarang?"
Tanpa pikir panjang ia langsung menelpon rumah sakit yang kini sedang dalam masa pemeriksaan. Baru saja pihak rumah sakit menyapa "Selamat Malam" Kardi langsung menjatuhkan gagang telponnya. Hal ini bukan dilakukannya karena ia malu, sudah mencaci maki tapi dengan tanpa tampang bersalah menelpon kembali. Bukan itu. Tetapi karena saat dia baru saja mengangkat gagang telponnya saudara kandung Kardi sudah berada di depannya dengan menggendong anak Kardi. Kardi langsung mengambil anaknya, dan menangis sejadi-jadinya.
"Kardi, kau harus menjaga dia. Sudah lama dia tidak mendapat asi, belikan dia susu, sudah lama dia kelaparan"
Kardi tidak menjawab perkataan saudara kandungnya, lebih tepatnya adik Kardi. Ia langsung berbalik dan memperlihatkan anaknya pada jenazah istrinya.
"Lindy, ini anak kita yang akan aku namakan Gabriel Imanuela, kita akan menjadi sebuah keluarga yang paling bahagia walau nanti kau hanya akan merasakannya di sana, bukan di sini bersama kami, kita akan jadi keluarga bahagia Lindy!"
Tentu saja Lindy tidak akan merespon, namun suara anaknya yang merespon langsung dengan tangisan yang menandakan sang anak sedang kehausan, haus akan asi seorang ibu dan gendongan seorang ibu. Karena sejak ia terlahir di dunia ini, ia belum sama sekali pernah di gendong ataupun di beri asi seorang ibu kandung. Kardi pun langsung membawa anaknya itu ke kamarnya, lalu ia tinggalkan untuk membuat susu. Sesaat sewaktu ia sedang membuat susu, Gabriel kembali menangis keras, ia pun spontan berlari menuju ke kamarnya. Disana ia melihat anaknya sedang di gendong seorang perempuan yang ia temui di dalam mimpinya. Lindy.
Kini anaknya sudah tidak menangis lagi, ketika ia ternyata sudah pernah di gendong langsung oleh ibu kandungnya sendiri. Kardi bisa melihat kehadiran istrinya yang selalu memperhatikan anaknya.
Kardi tentu saja membiarkan anaknya tetap bersama ibunya, ia hanya menutup pintu kamarnya dan duduk di depan pintu untuk menjaga agar tidak ada orang lain yang masuk ke dalam kamarnya. Hingga akhirnya Kardi tertidur di depan pintu. Dalam tidurnya, ia merasa seseorang mengecup keningnya dengan lembut dan penuh kehangatan serta bisikan lembut dari mulut orang ini
'

jaga dia, terima kasih sayang'
Kardi tidak bisa membalas apa apa, ia tetap tertidur dan terbangun di keesokan harinya. Ini adalah saat-saat terakhir Kardi bisa bertemu langsung dengan istrinya walau dalam wujud jenazah. Kini sebentar lagi ia tidak akan bisa melihat ataupun mengelus pipi lembut istrinya. Api yang akan mengelus pipi Lindy, api yang akan mengantar kepergian Lindy, api yang akan menghabiskan semuanya, cinta, kenangan, kasih sayang dan segala perjuangan istrinya. Dan Kardi hanya bisa berlakon sebagai seorang penonton yang menangis, tertawa tanpa bisa melakukan apa apa.
Tepat pukul 09.00 WITA Lindy di bawa keluar dan di mandikan serta di lakukan penyucian-penyucian tertentu sesuai adat di Bali. Di sinilah kali terakhir Kardi bisa memandikan istrinya untuk terakhir dalam hidupnya. Kardi tetap berusaha untuk ikhlas dan menerima semua kenyataan ini, kenyataan bahwa istrinya kini telah tiada. Ia tetap berusaha tersenyum di depan jenazah istrinya dan di depan semua orang yang menyaksikan. Hingga prosesi ini selesai dan istrinya di angkat menuju ke tempat pembakaran sekaligus destinasi terakhir yang dikunjungi istrinya. Kardi sudah tidak mampu lagi untuk ikut mengangkat sang istri tercinta, ia hanya diam di belakang peti kematian istrinya yang sedang di angkat, menatap dengan tatapan kosong ke peti tersebut. Ia pernah berharap semua kejadian ini tidak pernah terjadi, tapi nyatanya kini menjadi kenyataan dan orang tercinta yang menjadi sasaran utamanya. Ia sudah tidak bisa apa apa lagi sekarang, terdiam dengan tatapan kosong.

*Di tempat pembakaran
Sesampainya di tempat terakhir istrinya, ia melihat sendiri dengan mata telanjang, istrinya sudah berada di kompor yang akan membakar mayat istrinya, ia melihat seseorang yang akan membakar dan menghentikanya. Sebelum kepergian istrinya, Kardi hanya ingin menghampiri istrinya. Ia duduk bersimpuh di depan jenazah istrinya yang sebentar lagi akan terbawa kembali dengan api.
"Lindy kau sudah tenang sekarang, aku akan selalu mengingat kita ketika dulu bersama-sama di setiap saat sekarang kau yang lebih dulu pergi meninggalkan aku sendiri, aku pasti mengikuti setiap permintaan terakhirmu kala itu, aku bangga memilikimu selama ini. Kau Lindy terbaik dan istri terbaik yang pernah aku kenal. Selamat tinggal sayang, semoga kita di pertemukan kembali disana. I Love You"
Dengan tangisan yang sudah tak bisa ia bendung lagi, Kardi mengecup kening istrinya yang sebentar lagi akan meninggalkan istrinya. Kardi langsung mundur dari kompor yang kini sudah mulai melahap istrinya. Di mata Kardi terlihat kobaran api yang begitu besar, api dan wajah manis istrinya yang tersenyum dengannya. Hingga tanpa ia sadari kembali ia meneteskan air mata yang sudah tidak bisa ia bendung lagi. Tatapannya hanya pada api dan wajah istrinya, kenangan, dan semua hal saat ia bersama istrinya kini sudah terbakar habis oleh sang api. Kardi kini bagaikan mayat hidup yang sudah tidak bisa apa apa lagi, hanya menonton dalam tenang dan sedikit berkata,
'Selamat jalan sayang❤'
*****

Penulis :
Maaf, hanya itu yang bisa aku sampaikan jikalau dalam chapter 4 ini ada beberapa kata-kata yang kurang di pahami dan cerita yang sedikit memutar-mutar kepala kalian. Setidaknya dari sini kalian mulai menoleh kebelakang tentang cara bersyukur, untuk tidak mati penasaran nantikan cerita selanjutnya dari kisah SKIZOFRENIA ini, dan nantikan siapa Gabriel Imanuela sesungguhnya~

SKIZOFRENIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang