Bab.7

4.2K 363 5
                                    


Sudah hampir dua minggu aku di rumah tanpa melakukan apa pun. Sang Tuan memberi perintah agar kami bersembunyi untuk sementara waktu setelah kejadian di rumah Tuan Kim. Kulihat di tayangan berita, Tuan Kim dinyatakan meninggal karena serangan jantung. Mereka sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang pesta apalagi pertarungan di rumah itu. Hebat juga pengaruh Sang Tuan hingga bisa menutupi perbuatan kami dari publik.

"Sebenarnya Sang Tuan itu siapa?" Pernah Lee bertanya suatu hari pada paman.

Jawaban paman sungguh mencengangkan dan sangat diplomatis. "Sang Tuan adalah ayah kalian. Orang yang telah menyelamatkan kalian dari jalanan. Rasakan kehadirannya dalam hati bukan dalam bentuk fisik."

Semenjak itu, meski sering penasaran tapi kami tidak pernah bertanya lagi.

Kamar di apartemen yang kutinggali lumayan besar. Ukuran standar dengan satu kamar tidur terpisah. Di bagian tengah ada meja kecil dengan dua kursi, toilet dan dapur mini yang sama sekali belum pernah digunakan. Ada tiga lemari lumayan besar yang terlihat mencolok memenuhi ruangan. Lemari yang langsung terpasang di dinding. Satu berisi baju-bajuku dan dua lainnya berisi senjata tajam. Di bagian depan aku letakan bermacam-macam alat olah raga, dari mulai sasak untuk tinju sampai treadmill. Meski tidak bekerja seperti sekarang, aku tetap harus menjaga kebugaran tubuh. Tidak Ada pesawat telepon terpasang di sini.

Luka di lengan sudah mulai sembuh. Selesai latihan bertinju, tenggorokanku haus dan tersadar air mineral hanya tinggal satu botol kecil. Saatnya berbelanja, hal yang sangat tidak aku sukai.

Aku memakai rok terusan putih dengan panjang di atas lutut. Untuk menyamarkan luka di lengan kututup dengan cardigan biru. Mengikat rambut jadi ekor kuda dan memakai topi. Tidak lupa masker dan sepatu sneakers. Dengan penampilanku sekarang, orang pasti mengira aku gadis kuliahan bukan pembunuh.

Pukul sembilan pagi di hari Minggu, lift tidak begitu penuh. Mungkin para penghuni masih banyak yang berbaring di ranjang. Keluar dari lobi, kususuri jalan setapak. Udara belum begitu panas. Orang-orang berlalu lalang dengan seragam olah raga mereka. Minimarket yang terletak di lantai dasar apartemen tutup, terpaksa aku mencari yang lain.

Tanpa sadar, kakiku melangkah di antara para pengunjung pasar pagi yang mulai tutup. Banyak gerobak dibuka di depan ruko yang masih tutup, pedagang dan pembeli membludak memenuhi jalan. Dari mulai baju sampai makanan ada di sini. Risih dengan keramaian, aku mulai berbalik saat kudengar teriakan.

"Copeeet! Tolong, Copet!"

Kuputar badan dan menjulurkan kaki ke samping. Sesosok tubuh terguling saat tersandung kakiku. Dia memekik dan berusaha bangun, kutarik lehernya, menginjak bagian belakang lutut dan mendengar dia teriak lebih keras. Saat dia terhuyung kutarik semakin dekat dan sekarang dengan kedaan setengah terduduk dengan tangan yang terantai ke belakang olehku.

"Lepasin gue, Siapa lo!" Dia meronta. Kucekik leher belakangnya dan menyambar tas yang sedari tadi dia pegang.

"Aaaah, sial! Lepasin gue!"

Seorang ibu muda menggendong anak lari tergopoh-gopoh ke arahku. Anak laki-laki dengan baju lusuh dan ingus meleleh di hidungnya. Memegang mainan pesawat terbang.

"Kak, itu tas saya," ucap si ibu mengulurkan tangan dengan gemetar.

Kuserahkan tas padanya dan dia berucap terima kasih sambil menangis bahagia. "Ini uang hasil jual perhiasan, mau buat berobat suami. Makasih, ya, Kak."

Orang-orang di pinggir jalan memperhatikan kami, aku tak peduli. Dengan pencopet masih duduk terdiam tak berdaya di bawah kakiku. Setelah kulihat ibu pemilik tas menghilang di balik belokan, kulepas tawanan.

Seketika dia bangkit, mengusap wajahnya yang penuh tanah dan memandangku bengis. Laki-laki kurus dengan tubuh penuh tato, kisaran tiga puluhan.

"Sok, ikut campur urusan orang. Rasain lo!" Dia berteriak dan berusaha memukulku. Aku menghindar, menekel kakinya dan sekali lagi dia terjerembab. Dia terus berusaha memukulku dan mudah saja menghindarinya. Bosan bermain, kupukul perut dan membuatnya terjungkal.

"Lain kali, kalau gue lihat lo masih berbuar onar, gue habisin!" Aku berbisik sambil menendang kakinya sekali lagi.

Aku edarkan pandangan pada orang-orang yang berkerumun. Beberapa di antaranya dengan handphone menyala, sial!

Kulangkahkan kaki cepat tanpa tahu pasti akan kemana. Saat nyaris tiba di tikungan, sesosok tubuh menghentikan langkahku. Dia meraih lengan dan jika tidak ingat ada di keramaian, ingin kubanting dia.

"Venus? Benarkan itu kamu?"

Aku mendongak dan bertatapan dengan Andra. Ah ....

"Ya Tuhan, kamu hebat sekali bisa ngalahin pencopet tadi?" dia berkata dengan suara senang. Aku agak bingung juga, bagaimana dia bisa mengenaliku dengan masker dan topi.

"Anu, tanganku." Aku berusaha melepaskan diri dari tangannya tapi dia mencengkeram lebih erat.

"Ayo, masuk dulu ke kedaiku. Aku traktir makan siang yang kepagian, tentu kamu lapar."

Tidak menghiraukan protesku, dia menarik lengan dan membawaku masuk ke dalam sebuah kedai makanan yang lumayan besar. Tepat berada di samping tempat kami berdiri.

Di dalam belum ada pengunjung, hanya ada tiga pelayan yang sedang merapikan meja dan kursi.

Seolah sudah saling kenal lama, Andra mendudukkanku di sebuah kursi tinggi yang langsung berhadapan dengan bar pembuat minuman. Dia berdiri di sampingku dan tersenyum, memamerkan lesung pipit kecil di pipi dan gigi yang putih. Astaga, baru kutahu ada cowok punya lesung pipit?

"Kamu duduk di sini, aku akan membuatkan sarapan sekaligus makan siang."

Aku menggeleng. "Ada urusan, harus—."

"Tidak!" Dia memotong perkataanku. "Duduk dan biarkan aku mentraktirmu. Jangan coba-coba kabur, Venus. Aku akan mendobrak pintu apartemenmu kalau kau lakukan itu."

Tidak lama seorang pelayan datang menyodorkan jus jeruk padaku. Andra menghilang di balik dapur dan aku membuka topi dan masker lalu menyesap minuman di depanku.

Aku tahu dia hanya mengancam tapi entah kenapa, aku tidak beranjak pergi sampai di datang kembali dengan sepiring spageti carbonara yang terlihat lezat.

"Kedai buka jam sebelas dan kamu adalah tamu pertama kami. Ayo, cobalah," ucapnya dengan penuh harap. Memberikan sepasang sendok dan garpu yang terbungkus tisu.

Lezat, benar-benar lezat saat makanan menyentuh lidahku. Mungkin memang karena sudah hampir dua minggu tidak makan enak atau memang selama ini tidak pernah makan masakan rumahan. Tapi, spageti buatan dia memang enak. Tanpa sadar aku menandaskan isi piring dalam sepuluh menit tanpa jeda.

"Enakkan?" tanya Andra berseri-seri.

Aku mengangguk, mengelap mulut dengan tisu.

Andra menyandarkan tubuh lebih dekat, aroma susu bercampur parfum yang maskulin menguar dari tubuhnya.

"Aku senang, sering-seringlah datang, Venus. Jika kau tidak sibuk."

Aku tidak mengoreksi panggilannya padaku. Karena memang aku tidak pernah tahu siapa namaku sesungguhnya. Dari pertama ditemukan Sang Tuan sampai sekarang aku hanya dipanggil Elektra. Jauh di dalam hati, aku tidak ingin Andra memanggilku begitu.

Kami bertatapan, dengan Andra menyeringai puas melihatku menyesap jus gelas kedua. Alunan musik terdengar pelan entah dari mana. Tidak lama piringku diangkat dan digantikan cake coklat yang terlihat lezat. Meski tanpa banyak bicara, tanpa terasa aku duduk menemani Andra hingga nyaris sore.

DARAH DAN CINTA ELEKTRA ( 18+ ) Tamat.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang