14. Bila

19 3 0
                                    

Indah, satu kata yang terucap dalam hati Shalom. Kini ia sedang duduk di balkon kamarnya, memandangi bintang ditemani secangkir coklat panas yang kini sudah habis.

Ia sibuk memikirkan perasaan yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Baru saja ia sampai dari rumah sakit. Berniat memeriksa apa yang terjadi pada tubuhnya akhir akhir ini. Justru mendapat kabar yang kini masih ia simpan rapat.

Setitik air mata luruh melewati pipi yang dulu terlihat merona kini menjadi pucat. Sudah hampir seminggu ia merasakan sesuatu yang berbeda pada dirinya. Shalom hanya bisa menangis meratapi apa yang kini ia alami.

Belum lama ia bisa merasakan kembali kebahagiaan yang dulu sempat hilang. Kini ia kembali diterpa cobaan seolah olah dunia tak ingin melihatnya bahagia.

Shalom bangkit dari duduknya dan mendekati nakas, membuka laci teratas untuk menggambil secarik kertas yang sudah membuatnya gelisah. Kembali dibacanya berharap tidak ada yang terjadi. Ia kembali menangis saat melihat kertas itu. Naas, tidak ada yang berbeda sejak ia membuka kertas itu untuk pertama kalinya.

Kembali kertas itu ia simpan agar tidak ada yang tahu apa isi dari kertas itu. Lalu ia membaringkan tubuhnya dengan sisa air mata yang masih saja tidak mau berhenti mengalir keluar dari matanya.

***

Azriel memasuki pekarangan rumah Shalom, ia berniat mengajak Shalom untuk bertemu orangtuanya. Walaupun Shalom menolak, namun Azriel tak kehilangan akal hingga kini ia berdiri tepat di depan pintu kamar Shalom.

Saat pintu kamar terbuka, keluarlah Shalom dengan pakaiannya yang lebih tertutup dari biasanya. Meskipun sempat heran, Azriel berusaha menepis prasangkanya dan menarik tangan Shalom menuju mobilnya.

Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari Shalom, ia hanya sibuk memandangi luar jendela tanpa menghiraukan Azriel yang kini duduk di sampingnya. Hingga Shalom tak sadarkan diri, tangannya yang sedari tadi menyangga kepalanya kini terkulai lemas.

Azriel yang terkejut segera berhenti dan melihat keadaan Shalom. Sedikit ia gerakan tangan Shalom berniat membangunkannya apabila Shalom tertidur, karena ini pertama kalinya melihat sahabatnya itu tertidur di mobil saat bersamanya. Namun ia tak melihat tanda tanda Shalom akan bangun.

Segera Azriel melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Ia menghubungi orangtuanya agar membatalkan pertemuan.

***

Bingung, itulah yang kini dirasakan Azriel. Baru saja ia merasakan seperti ribuan jarum yang menusuk tepat di hatinya.

Diagnosa dokter yang hampir saja membuatnya limbung. Ia tak mampu berucap sepatah katapun. Ia yakin Shalom sudah mengetahui apa yang kini terjadi.

Azriel menggenggam tangan Shalom, ditatapnya Shalom dengan sendu. Dibalik semua keceriaan Shalom terdapat luka mendalam yang harus ia hadapi.

Shalom membuka matanya dan terkejut bahwa ia berada di ruangan yang asing menurutnya. Shalom berusaha duduk, dan saat itu lah Azriel memeluk erat Shalom dan tak dapat membendung tangisnya. Shalom yakin bahwa Azriel tau apa yang kini ia alami.

"Kenapa lo ga kasih tau gue ?" Isak Azriel. Shalom hanya membalas elusan pada punggung Azriel.

"Gue baru tau kemaren Zri, gue minta maaf sama lo, tolong jangan kasih tau siapapun soal ini. Gue ga mau semua orang khawatir. Gue baik baik aja" pinta Shalom.

ConfessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang