[4] Bus

59 9 1
                                    

Suara kendaraan saling bersahutan memecah keheningan yang seharusnya berada.

Senja nenunggu bisnya dengan sebuah buku tebal yang ia baca sedari tadi. Sudah sekitar lima belas menit ia menunggu bis tersebut, dan sekarang sudah pukul lima lewat tigapuluh tujuh menit (05:37).

Sebelum Senja berangkat tadi, asisten rumah tangganya memaksa agar Pak Amir (supir pribadi Senja) mengantarnya ke halte kalau ia tak ingin diantar ke sekolah. Senja menurutinya, dan Pak Amir mengantarnya sampai halte terdekat dari rumahnya.

Akhirnya bis yang ditunggu telah tiba. Senja menutup buku yang sudah dibacanya hingga halaman tengah lalu menentengnya masuk ke bis.



Karena keadaan masih pagi, tidak banyak orang di dalam bis, sehingga tampak jelas kursi-kursi yang kosong di sana. Beberapa orang yang masuk dapat memilih kursi mereka sendiri karena kelenggangan. Senja sendiri memilih kursi berjarak tiga dari depan, di sisi kiri (jika kalian ingat, kursi di sisi kanan bis itu untuk tiga orang).

Senja duduk lalu kembali membaca bukunya.

Sebenarnya inilah rutinitas Senja saat SMP. Tapi semenjak suatu insiden beberapa bulan yang lalu, ayah dari Senja lebih protektif kepadanya. Awalnya ia meminta beberapa bodyguard untuk mengawal Senja, tapi gadis itu menolak keras. Pada akhirnya ayah Senja hanya memintanya agar mau diantar-jemput dengan supir pribadi kemana pun ia pergi, dan itu sudah dilakukan Senja hingga kemarin. Hari ini... sudah tidak.

Bis bersiap untuk jalan. Supir bis itu sudah menyalakan mesin, dan hanya tinggal hitungan detik bisnya sudah akan berjalan.

Senja menghentikan aktivitas membacanya, beralih pada pemandangan jalan yang tampak pada jendela di sampingnya.

"APA?!" Senja tersentak kaget saat melihat siluet seseorang yang tak lain iyalah Fajar, berlari mengejar bis.

Bis itu langsung terhenti saat sang kondektur mendengar teriakan Fajar.

Dengan cepat Senja kembali membuka bukunya, tapi kali ini tidak dibacanya. Ia mencoba menyembunyikan wajah di balik bukunya itu.

Setelah Fajar naik, bis berjalan kembali. Ia tampak mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru, dan akhirnya hanya tertuju pada satu tempat. Langsung saja ia mengambil tempat duduk di sana.

"Baca buku yang bener itu kayak gini," Fajar memberi jarak antara buku tersebut dengan wajah Senja.

Senja menghela napasnya berat, tapi ia tetap bersikap tenang. Perlahan ia bergerak menutup buku yang dipegangnya.

"Hallo Senja..." sapa Fajar dengan senyum hangat merekah di wajahnya.

*****

Ting-tong...

Bel rumah Senja berbunyi beberapa kali. Bi Aminah atau Bi Minah, asisten rumah tangga Senja segera membukakan pintu untuk seorang di balik pintu di sana.

"Eh... adén. Adén yang kemaren kan?" ujar Bi Minah mengingat.

"Iya, bi. Heeemmm... Senja-nya ada?" tanya Fajar sopan.

"Aduh maaf, den... Non Senja udah berangkat,"

"Padahal gue bela-belain bangun pagi,"

Wajah Fajar terlihat sedikit murung. Awalnya ia berniat untuk menjemput Senja, dan mengajaknya pergi ke suatu tempat sebelum ke sekolah.

"Kira-kira Senja perginya kapan, ya?" tanya Fajar pantang menyerah.

"Non Senja udah pergi dari tadi. Tapi kemungkinan masih di halte," ucap Bi Minah.

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang