[6] Hate and Love

43 6 1
                                    

"Senja... Senja!!!" panggil Fajar sedikit berteriak, namun gadis itu tak merespon sama sekali. Matanya yang terbelalak hanya memandang lurus ke depan dengan kosong.

Semenjak naik ke bianglala Senja sudah seperti itu. Fajar sendiri terlalu asyik memandang ke segala penjuru, dan baru menyadarinya saat akan turun daru wahana itu.

"Senja..."

Gadis itu tersentak. "Ya?"

Fajar tersenyum dan menatap Senja. Ia tahu pasti gadis itu melamun lagi, karena terakhir kali juga seperti itu.

"Lagi-lagi,"

"Apa?"

"Lagi-lagi lo ngelamun, kan?"

"Ng-nggak," bantah Senja.

Fajar kembali tersenyum. "Gak usah bohong, dan gue tau persis lo ngelamun apa."

"Aku gak nelamun," bantahnya lagi.

"Ccckkk! Gue itu tau..." ujar Fajar di sela decakannya. "Lo pasti mikirin gue kan?"

"Apa?!" sentak Senja sambil memerhatikan Fajar dengan gaya semringahnya.



"Ke sana, yuk!" ajak Fajar dengan mata berbinar saat melihat tempat permainan melempar bola. Mereka berjalan berdampingan ke sana.

Fajar menyerahkan uang pada seorang pria tua di sana sebelum memulai permainannya.

Fajar melemparkan bola-bola yang diberikan padanya; mulai ke lubang kecil, besar, jauh, dan dekat, ia mampu memasukkannya.

"YES!" teriak Fajar girang saat ia menang dengan skor sempurna dalam permainan itu.

Si pria tua di sana memberikan Fajar sebuah boneka beruang berukuran besar berwarna putih dengan pita pink di lehernya.

Fajar menghampiri Senja lalu mengulurkan boneka itu.

"Buat lo,"

"Buat aku?" tanya Senja memastikan.

"Iya. Kenapa? Lo gak suka?"

"Bu-bukan begitu..." ucap Senja cepat karena tak enak, dan mengambil boneka beruang dari tangan Fajar. "Ma-makasih, kak"

Fajar menatap Senja senang. Gadis itu terlihat manis saat menggendong boneka beruang yang agak lebih besar dari badannya.

"Kita pulang, yuk!" ajak Fajar dan tanpa persetujuan, langsung menggaitkan tangan Senja padanya.

"Hah?!"

Mereka berjalan ke luar area pasar malam.



Bulan dan bintang menyembunyikan diri mereka, di balik awan gelap yang kian menebal. Udara dingin kian menusuk, namun tetap terdapat kehangatan di dalamnya.

"Dulu gue sama Mamah sering banget ke pasar malam," ujar Fajar di sela keheningan perjalanannya.

Senja hanya diam sambil terus memerhatikan jalan panjang di depannya.

"Sebelum pindah, gue tinggal di Bandung. Di sana hampir setiap hari ada aja pasar malam, dan gue selalu minta Mamah ke sana." Fajar menerawang kejadian-kejadin itu. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyum simpul. "Gue sampe nangis-nangis tiap hari, tapi Mamah bilang gue cuma boleh ke pasar malam pas hari libur." lanjutnya.

Fajar terus melanjutkan ceritanya, dari yang menyenangkan, menyedihkan, bahkan sampai yang memalukan.

Pertama adalah saat pertama kali Fajar diajak orang tuanya ke sebuah pasar malam di dekat komplek rumahnya dulu. Kala itu Papahnya membelikan sebuah mainan pesawat dan permen kapas yang besar.

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang