Wattpad Original
Ada 7 bab gratis lagi

1

87.7K 2.3K 56
                                    

"Eh, gadis buluk!"

Nyaris setiap hari Rivana mendengar pangilan itu untuknya, dari si congkak yang tak tahu diri. Tingkat kepedeannya hampir mengalahkan puncak gunung berapi tertinggi di dunia. Bahkan ia merasa dirinya paling keren di antara pria-pria yang berada di Universitas terbaik Jerman.

Ya, mulut si kriting itu sudah sangat licin, seperti diolesi pelumas mesin jait disetiap detiknya. Entahlah, apa yang sudah diperbuat oleh Rivana, sehingga si congkak menyebalkan bernama Alfandi Raiser, selalu saja mengusik hidupnya, disertai ejekan yang tidak bermoral.

Susah payah ia menahan diri untuk tidak terpancing. Cukup di pertengahan semester kemarin, ia merasakan hukuman dari dosen yang mengajar di kelasnya, karena ulah si bengis brengseng itu.

"Oh Tuhan beri aku kesabaran!"

Rivana mengacuhkan pangilan-pangilan kecil dari Alfandi. Pandangannya lurus pada pak tua berbadan gemuk ke depan, sedang menjelaskan materi matematika hari ini.

"Apa kau tuli, pantas saja sampai sekarang tidak ada seorang pun yang tertarik padamu, sudah buluk, jelek!"

Rivana memejamkan mata, kedua tangannya mengepal erat menahan emosi di tenggorokan yang sewaktu-waktu bisa meledak begitu saja.

Sejak pagi si kriting menyebalkan itu sudah memancing emosinya, siang ini saat berada di kelas ia kembali berulah. Memangnya orangtuanya memberi asupan apa padanya tiap pagi? Sehingga sikapnya seburuk itu. cih!

Rivana merasakan rambut panjangnya ditarik-tarik oleh seseorang, yang ia yakini itu pasti ulah si congkak. Karena memang dia duduk di belakang kursinya.
Apa lagi mau si kriting kurang ajar itu? Apa tidak ada cara lain memangil orang yang lebih sopan. Damn it!

Sempat diselali oleh gadis berwajah oval itu, kenapa ia memilih masuk ke Universitas ternama ini, kenapa dulu ia tidak menerima ajakan kakaknya untuk kuliah di kota kelahirannya saja. Pastinya dia tidak ketemu dengan lelaki usil seperti Alfandi kriting serta sombong tingkat dewa.

"Berapa kali kau keramas, rambut kering tidak terawat. Cih, jorok sekali jadi perempuan."

Teman yang duduk di sekitar mereka ikut cikikikan mendengar ucapan yang tidak terdidik dari Alfandi. Tapi tidak dengan Maya, sahabat karip Rivana yang memang sudah tahu watak dari seorang Alfandi Raiser.

Ia mengusap-ngusap lengan Rivana, mencoba menenangkan temannya supaya tidak terpancing. Tapi untuk kesekian kalinya si congkak kembali menghina dengan kalimat menyesakkan. Sukses meruntuhkan tembok kesabaran seorang Rivana Ravesa.

"Ya, kalau sudah terlahir buluk, tetap saja buluk!"

Brak!!! Bunyi dengungan meja menyentakan seisi kelas, Rivana sudah berdiri dari kursi menatap murka pada Alfandi, lelaki itu tidak sedikitpun merasa bersalah dengan ucapannya, malah sekarang ini si kriting menyebalkan itu hanya menunjukan muka polosnya.

"Tutup mulut busukmu itu!"

Emosi Rivana tersulut hingga berapi-api. Belum sempat ia membalas hinaan pada Alfandi, pekikan yang sangat memekakan lebih dulu terdengar. Bahkan behasil membangunkan semua bulu disekujur tubuhnya.

"Rivana! Keluar anda dari kelas ini, sekarang!" pak tua yang saat itu menjadi dosen di kelasnya, teriak murka.

Rivana merapatkan gigi-giginya, menarik nafas panjang. Lagi-lagi ia terpancing oleh lelaki sialan itu. Kenapa tidak mati saja kau pongah! Ia mengeram sebal, tidak tahu lagi harus berbuat apa. Membela diri? Jangan harap pak dosen yang tengah PMS itu akan sudi memberinya maaf.

Rivana menarik tas yang ia gantungkan di sandaran kursi, lalu berjalan keluar memendam benci pada lelaki keturunan Reiser itu.
.
.
.
Beda luar beda dalam hati. Mungkin orang-orang mengira Alfandi sangat bahagia dengan keluarnya Rivana dari kelas. Serta tidak menimbulkan masalah. Karena memang, sejak tiga tahun ini mereka hampir setiap hari adu mulut, bahkan mengalahkan permusuhan tom and jery. Namun, jauh dalam lubuk hatinya ia merasakan kesedihan. Sebenarnya tanpa Rivana, hidup seorang Alfandi tidak ada apa-apanya.

Hampa!

Sudah berulang kali lelaki bertubuh simetris itu mengarahkan pandangan keluar pintu. Kelima jarinya mengetuk-ngetuk meja seperti tidak tahan berlama-lama di sana.
Apa lagi, suasana kelas begitu terasa hening, meski suara raksasa pak dosen gendut itu tengah mengisi ruangan kelas.

"Ada apa dengan wajahmu, Al? Sepertinya kau sangat menyesal dengan kepergian gadis buluk itu," bisikan Juna mengundang perhatiannya. Alfandi menyipitkan mata, menatap tajam pada pemuda berambut pirang itu yang sejak lima tahun silam sudah menjadi teman dekatnya.

"Tutup mulutmu, Jun. Yang boleh memangil dia dengan sebutan itu hanya aku. Paham!"

Juna menahan kekehannya memekap mulut dengan tangan. Lucu sekali melihat teman karipnya begitu marah ketika ia ikut mengoda gadis itu. Tak tahan ingin mengoda lagi. Sebelum itu pandangannya Sesekali memperhatikan ke depan. Untuk berpura-pura fokus dengan materi dari dosen.
"Kau itu aneh, membuang waktu setiap hari menganggu dia, jika kau memiliki perasaan padanya, tinggal katakan saja, kenapa harus buat dia semakin membencimu, huh?"

"Itu bukan urusanmu!"

"Yeah, memang itu bukan urusanku, aku hanya ingin memberi peringatan, jika kau ingin mendapatkan kesempatan untuk dekat dengannya, bersikap baiklah padanya, jangan memperburuk keadaan."

Alfandi bungkam dengan ucapan pemuda kurus itu. Apa yang ia katakan ada benarnya. Selama ini ia sendiri sangat kesulitan untuk mengungkapkan isi hatinya yang sebenarnya pada Rivana. Apa lagi dirinya sudah dinilai jelek oleh gadis itu sejak pertama ketemu.

Ya, ini memang salahnya sendiri, dari awal sudah membuat gadis manis itu kesusah. Menyesal? Tentu! Karena dia tidak tahu harus bagaimana memperlakukan seorang wanita. Itulah kesalahan terbesar Alfandi.

"Jika kau tidak menyukainya, aku yang akan mencoba untuk mendekatinya, sayang saja gadis secantik dia disia-siakan."

Kikikan Juna terhenti oleh tendangan dari kaki panjang Alfandi. Membuat pemuda pirang itu jatuh tersungkur ke lantai. Lagi-lagi mereka kembali menjadi bahan tontonan seisi kelas.

"Awas saja, kalau kau berani mendekatinya, aku pastikan nyawamu akan segera lenyap, Juna Naido sialan!"
Manik mata abu-abu Alfandi melotot keluar, mendengar ocehan yang menyakiti gendang telinganya. Ia tak sudi jika Rivana didekati oleh Juna seorang play boy brengsek cap ikan teri busuk itu. Ia benar tak segan-segan merengut nyawa siapapun yang berani mengambil gadis buluknya. Termasuk temannya sendiri.

Juna semakin ketawa terpingkal-pingkal dengan sikap yang di tunjukan Alfandi. Kedua tangannya memegangi perut. Tanpa mereka sadari, pak dosen sudah berada di samping mereka dengan wajah memerah karena marah. Lagi-lagi siswanya membuat ulah. Ia memukul meja dengan tangan besar itu membuat seisi kelas terperanjat. Kecuali Alfandi, ia masih dengan wajah datarnya.

"Anak kurang ajar, Keluar kalian dari kelas ini, sekarang! Hukumanya untuk minggu depan kalian tidak saya izinkan masuk!"

Alfandi menyeringai dengan pengusiran dirinya dari kelas. Ini yang ia tunggu-tunggu. Tidak peduli dengan hukuman itu. Tanpa basa-basi ia bangkit dari kursi dengan senyum merekah. Pemuda tinggi dengan surai hitam pekat itu merasa tidak sabar untuk bertemu lagi dengan Rivana. Gadis mungil yang sudah berani memikat hatinya sejak lama.

Mr. CongkakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang