Di atas tempat tidur, Alfandi tidak berhenti untuk tersenyum. Memandang wajah imut Rivana yang tengah terlelap di sofa. Mungkin gadis itu ketiduran setelah menjaganya seharian.
Ia bangkit dari sana dan duduk menjongkok di depan gadis itu. Ia menggunakan jari telunjuknya untuk menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah Rivana. Lihatlah, betapa manisnya dia. Hidung kecilnya terlihat sangat lucu, bulu mata melentik cantik ke atas, dan bibir mungil berwarna merah muda. Sungguh sangat menggoda di mata Alfandi. Kenapa dirinya begitu jahat pada gadis ini, kenapa dia tidak bisa untuk selalu bersikap manis dari dulu. Huh, dia memang payah.
Alfandi mengulas senyum tipis, jemarinya kini sudah membelai lembut pada pipi Rivana. Entah apa yang ada dalam pikirannya, tiba-tiba saja kepalanya bergerak maju, hingga menempel di bibir mungil gadis itu beberapa detik. Lalu ia kembali memadangnya sejenak, dan kembali memajukan kepalanya hingga merasakan sesuatu yang sangat manis di sana.
Apa dia gila? Berani melakukan ini pada seorang gadis yang tengah tertidur. Tidak! Mungkin juga iya. Tapi, Alfandi tidak bisa menahan gejolak dalam dadanya. Bahwa, ia benar-benar menyukai gadis ini. Alfandi mulai menggerakan bibirnya, mengulum dan melumat sesuatu yang kenyal itu dengan mata terpejam. Sial! Ini sungguh manis, dan terlewat manis. Rasanya ia tidak ingin menghentikannya.
Di sisi itu Rivana mulai sadar. Setelah merasakan sesuatu yang aneh di bibirnya. Tanpa sengaja ia memberi celah pada Alfandi untuk memasukan lidahnya ke dalam. Seketika ada yang menganjal Rivana terbelalak, menemukan wajah pria pongah itu tepat di matanya. Ya, ia sangat merasakan sesuatu sedang mengaduk-gaduk dalam mulutnya kini. Oh God, apa yang sedang dia lakukan?
Rivana meronta, berusaha mendorong tubuh Alfandi untuk menjauh. Namun, pria itu tidak mudah untuk dihentikan. Malah memperdalam kulumannya, sambil menahan tubuhnya untuk tidak bergerak. Rivana mulai kekurangan oksigen, ia terlihat panik. Satu tangannya berhasil lolos dari tahanan si kriting. Dan
Plak! Satu tamparan melayang di pipi kiri pria itu."Apa yang sudah kau lakukan!" teriak Rivana menahan tangis. Ia masih berusaha mengatur pernafasannya, lalu memekap mulut dengan tangan.
"Maaf, Rivana. A-aku tidak bisa mengontrol diri," ucapnya menyesal, ia cemas dengan keadaan gadis itu yang mulai terisak.
"Jadi ini maksudmu menahan aku seharian di sini!"
"Tidak, Ini benar tidak ada dalam rencanaku, i-ni terjadi begitu saja."
"Brengsek! Kau memang brengsek, Al. Aku benci padamu, aku kira kau sudah berubah, nyatanya masih tetap si congkak tak tau diri, aku benci padamu!"
Rivana mendorong tubuh Alfandi hingga terduduk di lantai. Lalu berlari menuju pintu keluar. Namun, lengannya berhasil ditahan oleh pria itu.
"Kau mau ke mana, hari sudah larut malam.""Aku ingin pulang!"
"Aku minta maaf, aku tidak bermaksud untuk jahat padamu!"
Rivana masih berusaha menarik lengannya dari tahanan Alfandi. Ia benar-benar muak. Kenapa begitu bodoh, sampai percaya jika si congkak tidak berlaku buruk lagi padanya. Nyatanya ia salah, apa yang sudah ia dapatkan hari ini benar-benar sudah keterlaluan.
"Lepas, brengsek!" teriaknya, ia terisak. Lalu berlari dari tempat itu, dengan kekuatan yang ia punya.
"Rivana, aku minta maaf!"
Rivana sudah berada di lorong, ia berlari dengan isakan, menuju tangga menuruni gedung itu. Sempat ia berpapasan dengan Juna, entah datang dari mana pria itu.
"Rivana, kau kenapa. Apa yang terjadi?" tanyanya cemas. Namun, gadis itu mengacuhkannya."Hei? Kau kenapa!"
Tidak lama Alfandi ikut berlari mengejar gadis itu,"Al, kau mau apa? Kau mau ke mana?" untuk kedua kalianya pria pirang itu di abaikan. Seolah dirinya hanya tumpukan tempat sampah tak berguna, teronggok begitu saja di lorong tempat tinggalnya. Ia mendengus kesal."Oh shit! Ya, seperti itu saja kalian, aku memang bukan siapa-siapa. Anggap saja diriku angin yang baru saja keluar dari pantat cicak!"
.
.
.
.
Udara dingin malam begitu menusuk hingga ke tulang. Rivana berlari kecil menghindari si kriting kurang ajar. Berani sekali dia berbuat tidak senonoh padanya. Dasar otak mesum. Apa itu cara dia membalas kebaikannya, setelah seharian merawat ia yang tengah sakit. Sungguh tidak punya malu."Rivana!"
Suara menjengkelkan itu semakin mendekat. Rivana mendecah, ia mempercepat langkahnya, berlari di tepi jalanan yang kini sudah terlihat sepi.
"Rivana? Berhenti di situ!"
"Apa lagi maumu! Menjauh dariku, bajingan!" teriaknya menunjuk murka dan berusaha untuk tetap menjaga jarak.
Alfandi meremas rambutnya geram. Oke, di sini dirinya memang bersalah, tapi dia tidak ada keinginan untuk menyakiti wanita ini. Kenapa dia seperti melihat penjahat saja.
"Rivana, tenang dulu, ok? Aku tidak akan melakukan apa-apa, percaya padaku," Ujarnya mengangkat kedua tangan di depan dada."Kenakan jaketmu, kau meninggalkannya tadi, aku tidak ingin kau membeku sebelum tiba di wohnungmu."
Rivana baru menyadari jika dia tidak memakai jaketnya. Dan baru ingat jika sejak siang tadi ia melepas jaket itu. Pantas saja ia merasakan dingin yang sangat membunuh. Dengan cepat Rivana meraih jaketnya lalu dikenakan.
"Aku benar-benar minta maaf, aku telah salah melakukan itu padamu." Rivana membuang muka ke sisi lain, ia cukup malu mengingat kejadian tadi."Dan tidak ada rencana sebelumnya, itu murni dari naluri pria sepertiku, melihat- bibirmu-yang-terlihat-sangat seksi." Alfandi memberi jeda disetiap kata yang ia ucapkan. Jujur, ia juga malu mengutarakannya. Tapi dirinya bukan seorang munafik. Bahwa, bibir gadis itu benar-benar begitu menggoda.
"Cukup! Jangan kau teruskan kata-kata bodoh itu, lebih baik kau kembali ke dalam, aku ingin pulang!"
"Will not! Kau tidak boleh pulang sendiri, Rivana. Hari sudah larut malam dan sepi. Apa kau tidak melihatnya?"
Benar, jalanan ini biasanya masih ramai oleh orang-orang. Ah, sial. Kenapa ia mesti tertidur selama itu. Padahal tadinya ia hanya berencana untuk merebahkan sebentar punggungnya, karena terlalu lama duduk. Dan itu demi si kriting menyebalkan ini.
"Aku tetap akan pulang, dan kau jangan mengikutiku lagi."
"Apa kau bodoh!"
Teriakan Alfandi membuat langkah Rivana terhenti. Ia menatap tajam pada si pongah itu,"Apa urusanmu, huh? Terserah aku mau pulang sendiri, dan apa pedulimu!"
"Tentu aku peduli, jika tidak peduli denganmu, aku tidak akan mengejarmu sampai ke sini! Dan membiarkanmu mati kedinginan."
Rivana terdiam, ia menatap iris abu-abu Alfandi yang juga sedang menatapnya. Ia menelan saliva. Pria itu mencemaskan dirinya? Hallo, suasana apa ini. Kenapa begitu canggung.
Tidak ingin berlama-lama beradu tatapan dengan pria itu. Bisa-bisa jantungnya akan terlepas dari tumpuan. Kalian tahu, sejak bibir mereka saling bertaut di dalam unit Juna, bahkan lidahnya saling beradu. Degupan jantung Rivana sudah mulai terasa aneh. Ia memutar tubuhnya cepat dan bersiap-siap untuk mengambil langkah lebar. Namun, sesuatu tengah menarik lengannya, sehingga membuat tubuh mungilnya berputar dan terbentur dengan tubuh Alfandi. Rivana meringis sesaat.
"Aku tidak akan membiarkan kamu pulang sendirian, apa lagi jalan kaki ke sana."
Suara dingin serta terdengar sangat angkuh, berhasil membuat dirinya tidak bisa berkutik. Rivana tengah menengadah memandang wajah pucat itu. Ia terpana.
Kenapa dia terlihat tampan di bawah sorotan lampu jalanan.Damn it, ada apa lagi dengan dirinya kali ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Congkak
RomanceRivana Ravesa hanya ingin kehidupan perkuliahan yang tenang di kota Berlin seperti yang selama ini dia impikan, tetapi hal itu tampaknya tidak mungkin terjadi ketika Alfandi Raiser muncul di kehidupannya. *** Semua berjalan sempurna bagi Rivana Rave...
Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi