10. Sebuah Kenyataan

178 35 1
                                    

.
.
.
.
.
_____________________________________

"Salah satu hal paling menyedihkan tentang kita adalah di saat mereka bilang kamu milikku, sementara aku tahu jika hatimu milik orang lain."
______________________________________
.
.
.
.
.

**

Keramaian yang ku saksikan dari balik kaca bus tidak bisa membuatku teralihkan. Meskipun kendaraan yang lalu lalang itu nyata, tapi aku tetap merasakan sebaliknya. Aku lah yang tidak nyata.

Sedari tadi pikiranku masih saja berputar-putar untuk mencerna semua hal yang terjadi. Dari mulai kejadian kemarin, sampai kejadian beberapa jam yang lalu. Sekeras apa pun aku memaksakan diri untuk mencerna semua itu, semakin aku tidak paham dan bingung. Bagaimanapun aku tidak bisa menerima begitu saja apa yang sedang terjadi ini.

Baru kemarin aku datang ke rumahku di Bandung, lalu sekarang aku berada di dalam bus untuk kembali ke sana seolah-olah hari kemarin tidak terjadi.

Dan yang paling tidak bisa ku terima dengan mudah adalah penjelasan bahwa aku yang kemarin hanyalah gadis 19 tahun yang patah hati, kini hanya dalam semalam berubah menjadi gadis 22 tahun yang sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Bagaimana itu mungkin?

Saat kepalaku bersandar pada kaca, pandanganku turun ke bawah dan dengan spontan langsung mengarah pada cincin yang melingkari jariku.
Selama ini aku tidak pernah memakai perhiasan apapun selain anting-anting kecil di telingaku, dan keberadaan cincin itu tentu saja selalu menjadi perhatian bagiku. Meskipun terkadang keberadaannya bahkan tidak ku sadari-seolah cincin itu memang sudah berada di sana sejak lama.

Dan cincin itu langsung mengingatkanku pada Athar.

Saat ku bilang aku ingin pulang ke rumah orang tuaku, Athar mengatakan akan mengantarku, dan aku menolaknya-melarangnya. Aku juga memintanya untuk tidak datang menyusulku ke Bandung. Meski pun dia terlihat tidak setuju dan siap untuk berdebat, tetapi pada akhirnya Athar mengizinkanku pergi dan hanya mengantarku sampai terminal.

Sebelum kami berpisah di terminal 2 jam yang lalu, Athar tidak mengatakan apapun kepadaku tentang apa yang sedang terjadi di antara kami. Ia hanya terus menggenggam tanganku, memintaku berjanji untuk tidak pernah melepaskan cincin di jariku, juga memintaku untuk segera kembali padanya.

Walaupun aku bingung dan tidak yakin, tetapi aku mengangguki permintaannya. Bagaimanapun aku tidak memiliki alasan untuk melepas cincin itu, meski aku juga belum bisa menerima keberadaannya. Dan aku juga tentu akan kembali padanya jika aku sudah bisa menerima segala hal di antara kita, meski aku sendiri tidak yakin aku bisa melakukannya.

Memikirkannya saja membuat kepalaku pusing dan mataku pun langsung tertutup untuk sekadar menghilangkan rasa sakitnya.
Tapi hal itu justru mengingatkanku pada rasa sakit yang lain. Tanpa melihatnya, jemariku dengan perlahan mengusapi lengan kiriku yang dililit perban. Bukan luka bekas infusan yang membuat lenganku diperban, namun karena luka lain yang kubuat di kamar mandi pagi tadi.

Selama Athar merapikan dan mengepak pakaianku ke dalam tas, aku memilih untuk mandi. Karena masih beranggapan jika yang terjadi itu adalah mimpi, aku dengan tidak berpikir panjang mengambil pisau cukur yang ada di kamar mandi, mengeluarkan benda tajam itu dari gagangnya dan mengiris pergelangan tanganku hanya untuk memastikan apakah yang kualami itu nyata atau tidak.

Darah yang keluar dari lenganku disertai rasa sakit yang menyengat dan suara teriakan Athar yang menyusul setelahnya memberitahuku bahwa semuanya nyata. Bahwa aku benar-benar baru terbangun dari koma dan mengalami amnesia.

ATHAR [Destiny Series 3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang