11. Keputusasaan & Keputusan

227 32 16
                                    

.
.
.
.
.
__________________________________

"Aku tidak pernah ingin melupakanmu, namun jika Tuhan sedang menuntunku untuk melupakanmu, apa yang harus kulakukan?"
______________________________________
.
.
.
.
.
.
.

****


"Lo tetap cantik walaupun selama ini rambut lo pendek, dan lo tambah cantik dengan rambut panjang kayak gini. Jadi jangan dipotong lagi."
.
.
.

"Hmmmhh..."

Aku menghela napas dan menatap bayanganku di depan cermin. Menatap wajahku sendiri sambil menyisiri rambut yang kini panjangnya mencapai punggung. Selama aku di Bandung aku tidak benar-benar menyadari panjang rambutku, aku bahkan tidak memperhatikannya sama sekali. Namun sebuah bayangan atau kilas ingatan yang aneh tentang kata-kata Athar mengenai rambutku mampir di kepalaku pagi tadi ketika aku baru bangun tidur, dan itu membuatku kini memperhatikan rambutku dengan seksama.

Selama ini rambutku selalu pendek, hanya mencapai bahu—atau mungkin sedikit lebih panjang beberapa senti—dan tidak pernah sepanjang seperti sekarang. Tangan kananku yang memegang sisir bergerak pelan dari ujung kepala sampai ke ujung rambut yang mengikal di sekitar pinggangku, sementara tangan kiriku mengusap pelan mengikuti jejak sisir, merasakan tekstur lembut dari rambut panjangku.

"Gue suka megang rambut lo kayak gini, cantik..."

Memikirkan kembali kilasan ingatan itu, aku jadi teringat padanya. Meski aku masih merasa bingung dan canggung, tapi jujur saja aku memang sering memikirkan Athar. Apalagi ketika aku tidak lagi melihatnya dalam jangka waktu yang cukup lama.

Ya, aku sudah tinggal di sini selama hampir dua minggu.
Melarikan diri dan meninggalkan Athar.

Sejujurnya aku masih sering mengernyitkan dahiku secara spontan setiap kali kalimat itu mampir di kepalaku. Ucapan Papa tempo hari saat ia mengajakku berbicara yang kemudian berakhir dengan kesimpulan bahwa aku sedang 'melarikan diri', juga kata-kata Mama yang sering menasehati dan mengingatkanku bahwa yang saat ini ku lakukan adalah 'meninggalkan Athar'.

Rasanya benar-benar tidak menyenangkan, apalagi jika ditambah dengan omongan-omongan dari orang-orang di sekitar rumahku yang selalu menanyai kabar Athar padaku di setiap kesempatan mereka bertemu denganku.

Saat semua orang berusaha meyakinkanku pada hal-hal yang kulupakan, aku justru merasa semua itu tidak benar. Mereka terus saja mendesakku dan mengatakan padaku jika aku kehilangangan sebagian ingatanku, dan itu membuatku tidak nyaman.

Aku tidak merasa melupakan apa pun, aku tidak merasa kehilangan apa pun, aku bahkan mengingat semua masa laluku, masa remajaku dan seluruh ingatan mengenai hidupku. Aku tidak bisa menerima begitu saja dan setuju mengenai gagasan bahwa aku kehilangan sebagian hidupku di saat aku merasa tidak begitu.

Dan sikap semua orang terhadapku justru membuatku merasa bersalah, membuat aku bingung dan bertanya-tanya pada sesuatu yang bahkan tidak aku ingat sama sekali.
Membuatku merasa terkurung dan tertekan.

Membuatku merasa kesepian dan hampa.

Aku menatap bayangan wajahku di cermin untuk terakhir kalinya,mengangkat semua rambutku dan mengikatnya menjadi satu lalu melangkah keluar meninggalkan kamarku.

***

Mama tidak ada di rumah, ruang tengah kosong dan dapur pun terlihat amat rapi seperti yang kulihat tadi malam, pertanda bahwa Mama belum memulai aktivitas memasaknya.
Keluargaku memang tidak terbiasa sarapan pagi dengan makanan berat, kami biasanya hanya sarapan dengan makanan-makanan ringan yang tidak perlu dibuat di dapur. Itu jugalah yang membuat dapur dan meja makan di rumah kami selalu bersih di pagi hari menjelang siang.

ATHAR [Destiny Series 3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang