#3

166 36 5
                                    

Membandingkan nasib dengan mereka yang hidup tenang melalui 'menjilat' dan bermuka dua, gue malah ngerasa lebih senang dengan apa yang gue terima sekarang. Cukup diam menerima semua cacian dan perlakuan buruk mereka. Yang mereka anggap buruk itu bahkan masih belum apa-apa. Semuanya sama aja. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang bahagia seperti itu tidak pernah tau kejamnya kehidupan. Tidak tau rasa sakit yang sesungguhnya itu seperti apa.

Tetapi mau itu baik atau buruk. Sakit atau tidak. Tetap gak ada artinya buat gue.

Jika tidak ada tempat didunia ini yang lebih buruk dari neraka. Maka dengan senang hati,

akan gue ciptakan neraka itu sendiri...
 
   
     
       
   
      

                              

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     
  
▫▫▫

Sudah hampir tengah malam. Rindy berjalan menuju ruang ganti dan segera membereskan barang-barangnya. Para penari lain sudah naik ke panggung menggantikannya. Ya, gilirannya sudah selesai.

Ia menatap cermin dan sadar bahwa ia belum sempat membersihkan makeup nya. Tapi waktunya sudah tidak banyak. Ini hampir jam 12 malam. Jika ia berkeliaran diluar tengah malam begini bisa saja polisi patroli akan menemukannya. Tidak lucu jika ia tertangkap lagi karena belum cukup umur untuk berkeliaran di kawasan club malam di jam-jam rawan seperti ini.

"Udah mau pulang?"

Rindy berbalik menatap Elena si pemilik club yang telah mempekerjakan dirinya disini.

"Iya, kak. Bentar lagi tengah malam, gue harus pulang."

Elena mengagguk paham. "Oh iya, gaji lo udah gue transfer sore ini. Kapan-kapan beli tas baru dong. Liat nih tas elo udah sobek-sobek gini." ucapnya sambil membantu memasukkan beberapa peralatan makeup kedalam tas si penari termuda di club-nya itu.

Rindy tersenyum simpul, "Gak apa-apa kak, ini juga masih bisa dipake kok."

"Ya udah deh, terserah lo aja. Cepetan gih, udh tengah malam ini." Elena mengangkat tangan, menunjukkan arah jarum di jam tangannya pada Rindy.

Rindy mengangguk dan segera pamit. Ia bergegas keluar lewat pintu belakang seperti biasa. Ia berlari  terburu-buru mengejar waktu. Jangan sampai ia ketinggalan bus terakhir menuju rumahnya.

Karena tak fokus ia ceroboh menabrak seseorang, membuat tas-nya jatuh. Rindy meringis kecil. Elena benar. Seharusnya ia sudah membeli tas baru sejak jauh hari. Lihat semua barang-barangnya yang berserakan di trotoar.

"Maaf, saya gak sengaja." ucapnya sambil buru-buru berjongkok membersihkan barang-barangnya yang hampir seluruhnya adalah peralatan makeup. Malu-maluin, batinnya.

Setelah beres, Rindy kembali bergegas berlari ke halte bus tanpa repot-repot berbalik untuk sekedar menatap sosok yang ia tabrak barusan. Dan dia berhasil. Bus yang ia tunggu datang tepat pada waktunya. Ia langsung menaiki bus yang segera berangkat membawanya pulang.

When We Were Young Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang